Sejak belajar di Sekolah Dasar, aku punya hoby yang tidak boleh ditiru, yaitu membaca buku di perpustakaan sekolah, kok nggak boleh ditiru?
Karena begitu petugas pustaka silap buku yang aku baca tiba-tiba bersayap dan terbang melalui jendela, nyungsap di semak-semak, untuk kemudian ikut bersamaku pulang kerumah.
Mengapa?
Karena petugas pustakanya cerewet betul, ia tidak memperbolehkan siapa saja meminjam buku lebih dari dua.
Kegemaran ku membaca mula-mula di picu oleh buku-buku yang bergambar. Keberadaan gambar serta tingkat kecocokan nya dengan tulisan memang tidak menjadi tolak ukur bagi kualitas tulisan itu sendiri, tetapi paling tidak bisa menjadi rehat mata sejenak jika bicara dalam konteks yang sekarang. Jika dulu, bagiku gambar dalam buku bacaan adalah prioritas utama.
TERASI.
Ya, salah satunya buku yang gambarnya tergolong bagus saat itu adalah tentang cara pembuatan terasi, aku penasaran sekali dengan terasi, aku heran mengapa Almarhum Ayahku begitu tergila-gila dengan terasi. Berbanding terbalik dengan nenekku yang sangat membenci terasi.
Dibuat dari udang busuk, dipijak-pijak, dicampur dengan ikan busuk trus dijemur biar ulat-ulatnya mati. Kata nenekku.
Ketika itu aku sangat percaya pada omongan nenek ku, semua perkataan nya kuanggab paling benar, selain tidak tau, aku yang masih kecil belum bisa mencari tahu. Lagi pula akal ku waktu itu masih terbatas dan tidak mungkin bisa berfikir sesuatu yang lewat batas dari yang seharusnya tidak ada keterbatasan tetapi sengaja di batas-batasi.
Buku itu tidak tebal, hanya 27 halaman. Setiap lembarannya terdapat gambar berwarna yang cukup menghibur mata. Tentu saja ketika membacanya, aku belum mengerti apa yang disebut disposisi, alur, narasi, resolusi dll. Yang penting rasa penasaran yang terkait dengan omongan nenekku terjawab.
Aku yakin ia juga tidak pernah melihat langsung bagaimana proses pembuatan terasi, dia pasti seperti ku juga yang percaya begitu saja, setelahnya aku coba jelaskan bahwa pembuatan terasi bukan seperti yang ia katakan.
Ya lah, mana dia bilang yang sebenarnya, nanti terasinya tidak ada yang beli.
Aku ragu kembali.
Dan baru tiga belas tahun kemudian aku melihat langsung bagaimana terasi diproduksi. Ternyata apa yang dikatakan nenekku salah besar, dan ketika itu kuceritakan sama sekali tidak mengubah cara pandang nenekku pada terasi. Ia terlanjur benci, dan bukti apapun tidak bisa merubah rasa itu menjadi cinta, baginya apa yang kami katakan adalah "hoax" dan saat itu entah apa nama lainnya.
Pasca mengetahui semua nya, aku jadi sering makan terasi buatan almarhum ayah. Enak benar, seingat ku dulu bentuk terasi lempeng persegi dan bulat saja, ukurannya bervariasi, belum ada yang memproduksi terasi dalam bentuk permen.
Meskipun banyak yang terkecoh dengan bungkusan nya, salah satunya adalah temanku. Ia tidak puas jika ia sendiri yang naas karena kebetulan ibunya menyimpan permen itu di dalam kulkas. Sebelum ia bertolak kekampus, ia menyempatkan diri untuk mengantongi beberapa permen tersebut yang kemudian dibagikan pada tiga orang teman lainnya. Sontak kelas menjadi riuh.
Sepeninggalan ayahku, jika rindu padanya aku membuat terasi pedas, mengikuti langkah-langkah yang ia lakukan. Hanya di sana aku menemukan sedikit kedekatan dengannya, melalui rasa, melalui aroma, hingga kadang kala aku merasa ia ada dan belum pergi.