Masih belum lupa aku bagaimana beberapa senior di kampusku mencibir tulisan-tulisanku di awal-awal masa menulis dulu. Kritik jalan buntu. Sekisar lima teman yang menempuh jalan serupa, satu per satu lantas mengambil jalan lain setelah satu dua karya terpampang di media cetak kota kami. Mereka tidak tahan dan malas berbuat sebab tidak begitu mendapat penghargaan. Keputusan tersebut membawa mereka pada keadaan selamat dari nyinyir. Aku tidak bisa mengambil lain jalan dan hanya boleh mengikuti satu susuran yaitu terus menulis sekalipun terus menerima banyak ejekan. Nyatanya, hari ini tulisan-tulisan yang dianggap buruk itu telah berulang kali mengantarkanku ke tempat-tempat terhormat. Membawaku di tanah-tanah tak terbayang akan dipijak. Meluaskan jarak tapak.
Sampai kapan tulisanku dianggap buruk? Sampai sekarang, mungkin. Tapi sudahlah, toh aku tidak menulis untuk satu orang atau satu kelompok saja. Aku menulis untuk siapa pun yang membutuhkannya. Jika tidak ada yang butuh sekali pun, aku tetap menulis. Untukku. Untuk menyelamatkan ide-ide yang bersetan di kepalaku.
Masih belum lupa aku bagaimana beberapa senior di kampusku mencibir nilai keaktoranku di teater. Aku tidak berbakat menjadi aktor. Menurut mereka, tidak sama sekali. Bahkan di awal-awal masuk, aku satu-satunya anggota baru yang tidak terpilih memerankan tokoh figuran atau sekali lintas saja di panggung. Tapi aku tetap bermain peran. Tidak terlalu baik, memang. Namun setidaknya aku telah bisa menutup ruang kosong keaktoran yang dibutuhkan dalam video-video klip kami di Apache13. Jika nilai keaktoranku hanya 5 dari 100, itu masih beruntung. Teman-temanku di band rata-rata bernilai akting 1. Alhasil, sebab nilaiku di atas mereka, di ruang kami aku lebih sering menjadi pemeran utama. Walau di teater aku gagal, tapi setidaknya ilmu di sana telah bisa kupergunakan secara lebih terang. Lebih bertujuan dan lebih luas dipertontonkan dibanding mereka yang menganggapku tak bisa berakting bertahun-tahun silam.
Masih belum lupa aku bagaimana beberapa orang mencibir aku membaca puisi. Berulang kali. Tapi aku tetap berlomba. Guruku, Vanroem berkata, kau akan mengalahkanku suatu waktu. Dan ternyata ucapannya benar, kemudian aku mengalahkannya. Sejak itu, di setiap lomba yang kuikuti, hanya sekali aku tidak berdiri di antara para juara. Yang mencibir dulu bagaimana? Mau apa mereka? Mereka tidak bisa lagi membendung kenyataan bahwa aku semakin sering membawa pulang piala.
Masih belum lupa aku bagaimana beberapa senior di kampusku mencibir musik kami di depan dan belakangku. Setiap kabar hinaan itu tiba, aku tertawa. Tentu saja sebab aku tahu bahwa bisa jadi kebencian itu datang karena mereka menyukai musik yang beda. Kukira terkadang kebencian seseorang bukan sebab kita buruk, melainkan karena kita mengambil jalur tak sama dengannya atau bahkan yang tidak disukainya. Tapi apa peduliku? Kami tetap bermusik dan menciptakan karya-karya baru tanpa berpikir yang membenci itu. Kenyataannya, musik telah menyelamatkan kami dari stagnansi kreativitas, membawa kami ke sudut hidup yang lebih jelas. Dan setidaknya, seperti keinginan tempo waktu, ketika tua nanti aku bisa menunjukkan pada anak cucu bahwa betapa gelora masa mudaku.
Terkadang aku suka ingat bagaimana beberapa orang di tubir kehidupan mencibir ketika aku mengambil pilihan-pilihan. Di hati kecilnya, aku yakin, mereka ingin semangatku rubuh. Never. Kau tidak akan peranh menemukan ketakutan pada seorang martir. Dan semakin kau mencibir, hatimu semakin getir. Semakin kau coba jatuhkan, hidupmu makin tidak tenang. Sebab kau akan melihat istiqamah cahaya yang kau coba tutup dengan jelaga awan menyusup di kehidupanmu. Menyala semakin terang. Semakin terang.
Kau juga harus begitu. Setiap pilihanmu adalah hakmu. Kau bebas menentukan jalan tanpa peduli pada umpat-umpat para bangsat yang ketakutan dan terbenam dalam kebenciannya sendiri. Kau harus menunjukkan pada siapa pun yang ragu, bahwa orang sepertimu tidak pantas diragukan, tidak pantas disepelekan. Suatu waktu datanglah padanya sebagai seorang yang berhasil. Jika dia masih mencibir, katakan, hanya seorang makhluk berjiwa kerdil yang terlalu banyak buang waktu untuk nyinyir terhadap pencapaian orang lain.
(Banda Aceh, 2017)