Aku termenung, berfikir keras semalaman diantara nyanyian jangkrik dibawah terang sinar rembulan. Sampai-sampai, isi kepalaku terasa berputar-putar dengan sangat kencang, melebihi derasnya pikiran Jalaluddin Rahmat ketika memaknai mastnawi-nya Jalaluddin Rumi. Luar biasa, batin cicak yang menempel di atap plafon kamar, terkagum-kagum ia melihat isi otak ku yang kosong kelalat-lilit malam ini, “Pasti gara-gara steemit,” bukan aku tidak tahu, beberapa kali ia coba untuk mengintip-intip layar handphone ini. “Bagus juga efek steemit itu. Dia jadi tahu bagaimana cara menggunakan isi kepalanya.” Mampus aku!
Maklum, biasanya aku suka mengadu-adu lewat tulisan puisi yang tidak jelas. Jadi, kali ini aku akan berfikir keras untuk menulis hal yang berbeda. Diharapkan bagi para steemians untuk tetap membaca dengan fokus, tertib, dan memutar jaringan syaraf kepala ke jalur positif. Jangan berkedap-kedip, tetap melotot oke? Oke, lah kenapa aku pula yang jawab.
Golden from Saree
Di tengah perjalanan kembali ke Banda Aceh, setelah menyeruput secangkir kopi di Horas Coffee Shop Saree. Aku melihat di pinggiran jalan ada yang menjual burung-burung hasil tangkapan (burung asli). Karena rasa penasaran yang menyelimuti, bersama dua orang teman, kami pun sepakat untuk berhenti melihat burung-burung. Sama-sama berjanji hanya sekedar berniat untuk melihat saja, tidak ingin ikut serta menyiksa binatang yang tercipta untuk hidup di alam bebas.
Selagi memantau sana sini melihat burung-burung, macam burung itu tidak ku ketahui namanya, karena aku tidak se-kepo teman-temanku yang asik bercengkrama dengan si penjual, menanyakan ini itu. Tiba-tiba, kedua bola mata ku terhenti memandang lama pada benda kuning di sangkar paling ujung kiri. Karena sedikit jauh dan faktor rabun mata, aku mencoba untuk mendekat, ingin memastikan pisang kuning apa yang sebesar itu bentuknya. Dengan perlahan kuhampiri sangkar itu. Ternyata oh ternyata, seekor anak kera rupanya. Oh betapa imutnya kau kera mungil berbulu kuning emas, ekornya panjang, berlipat-lipat dalam jeruji lidi yang sangat sempit. Sungguh aku merasa kasihan melihat tubuh kecilnya membungkuk gemetar. Tangis suara anak kera ini menandakan bahwa ia masih berusia bayi sekali.
Rasa ingin memiliki sangatlah menggeba-gebu. Tanpa basi basi dan berpikir panjang, patunganlah kami untuk membawa kera mungil ini ke kota sana. Sempat terfikir olehku, di kota sana banyak debu-debu. Asap-asap berlalu lalang mengekor angin. Riuh klakson dan knalpot kendaraan menyamarkan suara adzan. Belum lagi di tambah macet di sepanjang jalan. Sakitkah jiwanya nanti? Ah, kurasa tidak. Walaupun di kota sana tak seperti tempat tinggalnya yang asri dan membikin adem hati, lebih mending ku bawa saja, daripada ia sengsara di balik jeruji lidi. Tapi yang paling kutakutkan, jika ia besar nanti, ia tak mengenal lagi diri sendiri dan tempat asalnya. Bahaya!
“Kau duduk di depan, biar cepat sampai ke Banda Aceh,” kuseru pada si kera. “Oke,” balas temanku. Lah!
Sore itu, perjalanan pun kembali berlanjut. Si kera yang duduk di atas pundak kanan, menggenggam erat-erat rambutku. Ia tampak gelisah saat mobil melaju. Aku pun sama, aku ikut resah, bagaimana jika ia poop sembarangan nanti, habislah aku.
Temanku sudah berkali-kali memperingatkannya, “tak apa nyet, ini hanya mobil, bukan pesawat terbang.” Ia semakin menjerit menjadi-jadi. Kusegerakan untuk memutar musik Indie Folk, barangkali ia bisa tenang. Kupencet saja pada nama Jason Ranti-Bahaya Komunis. Musik pun di mulai, Ia mulai terlihat sedikit tenang, hanya saja wajahnya kebingungan. Ia langsung diam dan sedikit menikmati perjalanan tanpa rasa takut lagi.
Selang dari itu, ia menjerit-jerit lagi. Ia tidak selera pada lagu ini rupanya. “Ganti genre, coba Alan Walker,” kata temanku. Setelah diputar, tak juga ia tenang. Semakin sedih saja wajah hitam mungil dengan mata bulat hitam berbinar itu, tak henti-hentinya ia meneriaki telingaku dengan keras.
Karena terlalu ribut. Lalu ia dipangku oleh temanku agar di nina bobokan dengan do’a-do’a cinta, sambil diberi makan beberapa suap pisang. Wajahnya gembira, bibirnya manyun-manyun minta makan lagi. Hingga lelah mengunyah, ia pun tertidur diam.
Ia diam, diamnya... menghantar ketiga insan manusia terlelap dalam mimpi. Aspal di sepanjang jalan dan lalu lalang pepohonan mengucapkan selamat jalan semoga sampai tujuan. Menjadikan sebuah kenangan dalam luasnya kolom ingatan, tentang detak waktu yang terhampar sejengkal saja. Semoga maut itu lebih memberikan kasih sayang pada kau, “nyet... maafku.”
(Kenangan anak monyet, 2016)