Mungkin saja kamu juga pernah sepertiku, menjadi korban suramnya masa lalu. Ditolak dalam segala permainan. Dikucilkan. Agaknya bukan sebab hidup keluargamu kurang beruntung, sebab banyak dari mereka yang diterima berbaur di kawanan pergaulan nyatanya berasal dari keluarga yang lebih menyedihkan. Bukan pula sebab kamu lemah, sebab faktanya ada banyak di antara mereka yang lebih payah. Pun bukan sebab bodoh, karena terbukti di banyak keadaan kamu bisa lebih unggul peri penguasaan pelajaran dan peri permainan. Nyata-nyata itu sebab ketidakberuntungan garis tanganmu di ruang pertemanan. Kamu tidak bertakdir dianggap mungkin bisa jadi pahlawan.
Penerimaan dalam pergaulan masa kecilku buruk. Bila mengingat itu, aku benci. Penolakan demi penolakan kurasa semacam penjajahan terhadap keindahan masa kecilku yang pedih sekali. Aku tidak punya teman baik di permainan meski selalu mampu menunjukkan bahwa aku punya kemampuan saat sesekali aku dibolehkan bermain sebagai anak bawang. Bila aku bermain kasti, lariku cepat, dilempar selalu bisa kusilat, melesat. Saat bermain bola, aku selalu mencetak angka. Ketika bermain tali, aku bisa tak mati sampai hitungan dua puluh dua sekalian menolong anggota yang sudah mati hingga mereka bisa bermain lagi. Kala main yang lain-lain lagi, aku bisa mengentaskan lawan dengan mudah sekali. Tapi tidak, aku bukan pilihan utama. Bahkan suatu kali pernah kostum sepak bola yang kukenakan dipaksa lepas untuk diberikan kepada seorang anak yang tak bisa apa-apa. Celaka!
Penjajahan itu tidak berhenti sampai sekolahku khatam. Di sepanjang nasib tidak memihak, aku hanya jadi pengkhayal. Kubayangkan diriku menjadi pusat perhatian ketika berada di gelanggang pilihan. Beranjak merantau, aku mencari ruang mana yang bisa kumasuki agar kelak dianggap penting, diterima semacam pahlawan dalam perang. Aku mulai berambisi menaklukkan setiap panggung lomba, menjadi pemenang. Berulang kali menang namun belum cukup membuatku terpuaskan. Menjadi juara di lomba-lomba sama dengan menjadi musuh sekian banyak peserta. Tidak, aku harus meloncat lebih jauh. Dimana penerimaan orang-orang membuat hatiku haru gemuruh.
Dan masa itu pun tiba. Di panggung, sebagai vocalis, kepala suku Apache13, aku menemukan ruangnya. Diterima dengan tepuk tangan kehangatan. Aku benar-benar telah merasa tiba di tujuan. Satu tujuan. Tapi ada beberapa titik penting lain yang ingin kucapai. Di sini, semua baru dimulai. Pencapaian dan mimpiku belum selesai.
Posted from my blog with SteemPress : https://pengkoisme.com/2019/02/23/jalan-mimpi-tentang-asa-yang-tak-berganti/