Wanita Cantik yang Enggan Kawin karena Mahar Warisan Ibu Kandung – Bagian 2


“Berapa mahar yang Ayah tunaikan waktu melamar Ibu?” tanyaku.

“Waktu itu, Ayah melamar Ibu sebesar 15 mayam emas,” kata Ayah sambil melipat kedua tangannya ke dada.

“Mahar kau tak boleh kurang dari 15 mayam emas, Nyak!” putus Ibu.

“Kenapa demikian, Ibu?” aku penasaran.

“Mau kau dilamar dengan mahar lebih rendah dari Ibu?”

“Aku mau!” tegasku.

“Kau mau? Orang tua kau tak mau. Saudara-saudara dari Ayah kau berkata lain. Saudara-saudara dari Ibu kau memprotes. Tetangga-tetangga mencibir. Anak keturunan kau dicibir kemudian hari!”

“Apa peduli dengan omongan orang lain, Ibu?”

“Kau hidup di lingkungan itu, Nyak!”

Pernyataan Ibu cukup menohok perasaanku.

“Jika kau hidup seorang diri, silakan pilih tak pakai mahar dalam menikah. Jangan pula kau salah, keyakinan kita mewajibkan mahar untuk meminang seorang gadis,”

“Tapi tak sebanyak itu, Ibu,”

“Tak banyak tapi menurut status sosial yang berlaku. Jika melihat dari hukum tak ada batasan, maka kau pertimbangkan dari maka kau itu berasal. Harkat martabat kau sebagai seorang wanita belum disentuh pria lain. Status keluarga kau di mata masyarakat. Lingkungan di sekitar kau yang beradab dan beradat. Banyak pertimbangan sebelum kau dicemooh banyak orang. Kau dicemooh, dosa pula orang itu pada kau!”

“Kita bisa tentukan mahar dalam musyawarah keluarga, Ibu,”

“Kau tak kawin dengan seorang pria saja. Kau kawinkan dua keluarga. Tak mudah itu, Nyak. Jangan main-main. Itulah hidup dan mati kau dan keluarga kau!”

“Mahar itu hasil negosiasi, Ibu,” aku bersikeras.

“Benar. Saat kau hendak dikawinkan, keputusan mahar itu adalah keputusan bersama. Rujukannya tetap mahar Ibu kau!”

“Itu bukan sebuah ketetapan, Ibu,”

“Kau tak perlu egois, Nyak. Hubungan dengan manusia lebih mudharat dibandingkan hubungan dengan Tuhan. Kau berdosa dengan manusia, kau musti minta maaf padanya. Kau berdosa pada Tuhan, kau tinggal memohon ampunan!”

“Apa hubungannya dengan mahar, Ibu?”

“Mahar itu adalah utang. Mahar itu adalah janji pria terhadap wanita. Sanggup atau tidak dia bertanggungjawab kepada wanita yang mau dikawinkannya?”


Aku mendekam menelan ludah.

“Perkawinan yang baik akan sanggup memenuhi besar mahar yang ditentukan dalam keputusan keluarga!” ujar Ayah kemudian. “Pertemuan dua keluarga tak lagi berdialog mengenai setuju atau tidak kau dilamar. Kau dan pria itu, telah menyetujui sehingga orang tua kedua belah pihak bertemu!”

“Apakah kita harus menuruti mahar ibu kandung, Ayah?” aku meminta pendapat Ayah, agar lebih tenang.

“Kita tak tinggal serumah ini saja, Nyak!” suara Ayah penuh penekanan. “Ayah setuju dengan Ibu kau, Nyak. Lebih baik meredakan omongan orang yang menimbulkan dosa, dibandingkan mempertahankan pendapat kita masing-masing,”

“Lagi pula si Kurniawan itu sanggup melunasi mahar kau lebih dari 15 mayam emas!” ujar Ibu yakin.

“Ibu tahu dari mana?” selidikku.

“Dari hubungan kalian!” mata Ibu menyala. “Jika dia tak serius, kenapa pula kau tidak dilepas agar dilamar pria lain?”

Ibu benar, Bang Kur serius bersamaku.


“Cut Intan sudah dilamar ya?” Bang Kur bertanya saat aku sudah duduk di sampingnya. Bang Kur menjemputku sore itu karena aku tidak membawa kendaraan.

“Abang tahu dari mana?” aku balik bertanya.

“Calon suami Cut Intan relasi kerja Abang,”

“Apa Nyak merasa gelisah?” tanya Bang Kur kemudian. Aku bingung memberi jawaban. Kata-kata yang telah kususun sejak semalam, hilang entah ke mana.

“Ayah dan Ibu meminta pertemuan keluarga…,” kupikir, ucapanku cukup mewakili isi hati. Bang Kur tampak tenang sekali.

“Berapa mahar yang Nyak minta,” aku bersorak dalam hati. Pertanyaan yang kutunggu selama ini datang juga.

“Sebesar mahar Ibu waktu dipinang Ayah,”


“Memang begitu seharusnya,” benar, bukan? Bang Kur tahu juga masalah ini. “Mahar itu menghormati dan menghargai orang tua yang telah melahirkan dan membesarkan, Nyak,”

“Apa Abang sanggup menunaikannya?”

“Sanggup,”

“Kapan Abang memenuhi janji itu?”

“Malam ini!”

Kepalaku ringan.

Oh, inilah tentang jodoh, tentang keluarga, tentang bahagia!


Keterangan:

  1. Mayam adalah satuan ukuran berat emas 1/16 bungkal (gumpal), 1 mayam emas sama dengan 3,37 gram.
  2. Penggunaan sebutan kau dalam dialog mengacu pada sebutan kah dalam bahasa Aceh. Kah bernada kasar, kebalikan dari loen yang bernada lembut. Pengunaan kah sudah menjadi kebiasaan di masyarakat wilayah barat Aceh, sehingga wajar dalam penyebutannya.


Posted from my blog with SteemPress : http://ceritapria.xyz/2018/08/wanita-cantik-yang-enggan-kawin-karena-mahar-warisan-ibu-kandung-bagian-2
H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
Join the conversation now
Logo
Center