Pertarungan kuawali begitu kakiku keluar dari rumah. Sebentar lagi. Tak lama setelah angka sepuluh lewat sepuluh pada jam usang di dinding bercat putih memudar. Kuperhatikan sekeliling. Ayah dan Mak duduk berdampingan. Tak ada orang lain yang mengantar kepergianku. Bahkan wakil dari keluarga sebelah Ayah dan Mak pun tidak menampakkan batang hidungnya.
Lahirku begitu syahdu terdengar bahagia. Setelah adik-adikku ada beberapa tahun kemudian dan aku diketahui tidak normal, aku disampingkan pada sudut yang tak kuketahui menerimaku atau tidak. Tengoklah rumah papan milik keluarga kami. Tidak pernah berubah dari masa ke masa, bahkan sampai umurku hampir menginjak dua puluh. Jangan pikir keluargaku kaya lantaran menyekolahkan Daman, hal itu hanya sebagai perpanjangan kaki Ayah yang tak mungkin mengantarku tiap pagi dan menjemputku sehabis dhuhur.
Keluargaku hanya punya tujuh petak sawah. Tiap musim dua kali setahun Ayah dan Mak bersawah. Padi kami tidak banyak seperti orang lain, seperti Ayah Annisa yang punya petak sawah di mana-mana. Namun cukup untuk memenuhi kebutuhan kami enam bulan ke depan sebelum menghasilkan panen lain. Ayah dan Mak bekerja di kebun karet, itu pun milik orang lain. Ayah dan Mak hanya menarik karet kemudian hasilnya dibagi dua. Satu bagian untuk kami dan sebagian lagi untuk pemilik karet.
Kadang Ayah dan Mak sering kalang-kabut. Harga karet yang tidak pernah labil membuat Ayah bekerja serabutan. Jika musim hujan Ayah akan mencari sirih lalu dijual ke pusat pemerintahan kabupaten. Nilainya tidak banyak, hanya beberapa rupiah yang bisa Ayah kumpulkan untuk bisa menjadikan dapur kami tetap mengepul asap. Ayah tak pernah berkata berapa rupiah yang didapat, aku juga tidak bisa mengira-ngira.
Aku cuma merasakan enaknya saja, jika Ayah pergi menjual sirih di dapur kami akan banyak ikan dan sayuran. Berbeda dengan biasanya yang hanya ikan asin dan telur rebus. Ikan asin kami dapatkan di kedai depan rumah dengan harga murah per-ons. Telur yang kami makan pun tak perlu dibeli, mengingat tiap hari bebek dan ayam milik kami selalu bertelur.
Jika Ayah menjual sirih saat tidak ke kebun karet, Mak membuat telur asin. Telur bebek yang dikumpulkan tiap hari dibersihkan dan diberi abu yang sudah ditambahkan garam dan air. Biasanya abu itu Mak dapat dari pembakaran limbah pabrik padi. Di sini kami tak perlu membeli, limbah itu juga akan dibakar oleh pemilik pabrik agar tidak menumpuk banyak. Mak juga tidak sendirian mengambil limbah pabrik, beberapa perempuan yang punyak bebek juga mengambilnya.
Kembali kutatap raut wajah Ayah dan Mak. Mungkin ada rona bahagia. Mungkin juga tidak. Susah kutafsirkan arti raut muka kedua orang yang kucintai ini. Melepas kepergianku memberi arti membiarkan anak yang malang sendirian di pusat pemerintahan provinsi paling ujung Sumatera. Jarak yang cukup jauh untuk kami yang jarang bepergian ke mana-mana. Ini kali pertama aku akan jauh dari kedua orang tua dan adik-adik. Ketiga adikku sudah tumbuh semakin remaja.
Munawarrah kelas tiga tsanawiyah sebentar lagi akan masuk aliyah, Sabarni kelas lima ibtidaiyah dan Rizki baru kelas satu ibtidaiyah. Ketiga adikku semua lahir normal. Tak ada cacat sedikit pun pada mereka. Bahwa keturunan Ayah dan Mak tidak normal ditepiskan dengan lahirnya ketiga adikku. Adikku yang paling kecil laki-laki yang tangguh, umurnya belum genap tujuh tahun namun perangainya seperti sudah berumur sepuluh tahun. Tiap sore bermain bola dan membantu Ayah memikul padi di sawah. Dua hal yang tidak bisa kulakukan sampai sekarang.
Ketiga adikku belum pulang. Semalam sudah kuutarakan niatku merantau pada mereka. Binar sedih jelas terlihat pada Munawarrah, aku tahu dia sudah bisa memahami kondisiku kini. Umurnya sudah cukup melihat gelagat tidak baik dalam kehidupanku. Juga dengan fisikku yang tidak sesempurna dirinya membuat khawatir berkepanjangan. Ditambah dia seorang perempuan yang cepat menangis jika terjadi sesuatu. Sabarni dan Rizki tak banyak berkata, malah tak ada.
Mata mereka menyinarkan bangga padaku yang tak lama lagi akan kuliah di Banda. Jauh-jauh hari Rizki sudah pamer pada semua orang aku akan pergi belajar ke tempat yang tak mungkin dijangkau dengan sepedanya. Anak kecil memang suka memperlihatkan sesuatu yang membuat mereka senang. Suatu masa yang bisa membuatku lupa akan kepedihan dalam hidupku. Bila boleh berkhayal, aku mau kembali ke waktu itu. Bermain bersama Daman, mengaji Alquran dengan Teungku Jamhur, menonton anak-anak sebayaku main bola, mengelilingi kampung dengan sepeda, dan aku ingin sekali mengulangnya jika waktu yang kubutuhkan masih tersisa dalam hari-hariku.
Belum juga melewati pukul sepuluh. Kendaraan yang akan kutumpangi datang setelah puluh sepuluh lewat sepuluh, katanya begitu. Aku sudah menyiapkan berbagai keperluan selama aku jauh dari kedua orang tua. Kembali pulang dalam waktu dekat adalah masalah bagi keluarga. Selain biaya besar juga keadaan fisikku yang tidak menguntungkan.
Posted from my blog with SteemPress : http://ceritapria.xyz/2018/08/tarian-tarian-cinta-pemuas-birahi-bagian-4