Segelas Pesan dan Darah Jawa di Tanah Aceh – Bagian 6


Petaka itu bermula saat Teh Ratna melarangku ikut panen kacang bersama Wahid. Entah apa yang terbersit dalam pikiran Teh Ratna sampai-sampai bersikeras bahwa penduduk pribumi tidak baik kelakuannya.

“Bagaimana Teteh bisa berpikiran sepicik itu?”

“Bagaimana? Kamu tidak lihat, di sini hanya beberapa penduduk pribumi, lainnya hanya pendatang dari Jawa yang pontang-panting membuka lahan. Kamu tidak dengar ada penduduk pribumi yang mengambil paksa lahan dari pendatang karena mereka Jawa!”

“Itu baru asumsi Teteh saja kan? Kita belum punya bukti mereka melakukan itu!”

“Tidak ada bukti katamu? Lihatlah, dari daftar penduduk yang ada di buku besar ini hanya sepuluh keluarga dari penduduk pribumi, selebihnya dari Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah…” Teh Ratna membuka buku pemberian lurah di depan mataku. Aku akui memang sebagian besar penduduk adalah transmigrasi.

“Sekarang mereka sepuluh keluarga, besok akan bertambah, lusa bertambah, terus bertambah sampai mereka menguasai lahan perkebunan yang sudah digarap oleh orang-orang Jawa mulai dari nol. Orang-orang Jawa bilang sendiri mereka ditindas selama berada di Kampung Pedalaman!”

“Teteh keberatan? Mungkin hanya sebagian dari mereka yang bilang begitu, yang lain malah sibuk berkebun.”

“Iya, orang kita sudah lelah membuka lahan, penduduk pribumi seenaknya mengambil lahan untuk mereka bercocok tanam. Sekarang sebagian mereka mengeluh, besok sebagian lagi, lusa setengah lagi dan seterusnya. Siapa yang tidak keberatan?”

“Saya tidak, ini tanah mereka! Jika kita orang Jawa tidak suka pulang saja ke Jawa!” aku sedikit menaikkan suara. Aku masih menganggap penduduk pribumi punya kuasa atas tanah kelahiran mereka, orang Jawa hanya pendatang sepatutnya menerima keberadaan dan keputusan penduduk pribumi walau tidak adil.

“Mereka harus buka lahan sendiri kalau begitu! Masuk ke hutan belantara ini, tebang pohon, bakar hutan, cangkul tanah, baru bisa mereka ambil alih!” Teh Ratna juga ikut terbawa emosi.

“Lantas, apa hubungannya dengan Wahid? Dia tidak seperti itu, saya mengenal dia,”

Teh Ratna diam sejenak. Mungkin mencari alasan yang tepat atas argumennya menyalahkan Wahid di awal pembicaraan kami hingga larut malam begini. Sudah lebih lima menit aku menunggu, Teh Ratna belum menemukan alasan yang bisa menguatkan pendapatnya. Alasan itu muncul saat jam sudah berdentang dua belas kali.


“Kamu baru mengenal Wahid belum lama ini, sebagai pendatang kita wajib waspada. Wahid kerja sendiri, siapa tahu dia menjadikanmu buruh tanpa dibayar, panennya usai dan hubungan kalian pun usai!”

“Hubungan? Maksud Teteh saya dengan Wahid sudah menjalin hubungan dekat? Wahid bukan panen sekali lalu dia akan meninggalkan perkebunan ini, dia akan bercocok tanam lagi saat hasil panennya terjual. Dia bahkan menjual sendiri hasil panennya ke Calang, rasanya wajar jika saya membantu dia tanpa imbalan apa-apa. Saya juga butuh rutinitas, lelah rasanya berdiam diri di rumah terus!”

“Katamu di rumah ini tidak ada rutinitas? Saya juga perlu teman bekerja, bukan hanya Wahid! Berapa dia gaji kamu? Saya pun akan mengajimu!”

Suasana semakin panas. Aku sudah tidak enak terhadap Teh Ratna. Matanya tajam menatapku, seakan ingin menerkam. Melahap tubuhku hidup-hidup. Selama ini, belum pernah aku melihat kemarahan dari Teh Ratna.

“Lagi pula, kamu sudah bosan mungkin membantu orang melahirkan anak! Apalagi sampai kerja tengah malam seperti di rumah Anto dan Minah!”

Aku terkejut mendengar perkataan terakhir, keikhlasan membantu malam itu seakan luntur jika aku memulai dekat dan tak akan ada habisnya bahkan sampai pagi.

“Besok saya akan membatalkan perjanjian dengan Wahid!” tegasku sambil berlalu ke kamar. Tidur mungkin bisa menenangkan urat saraf setelah bertengkar tak jelas dengan Teh Ratna. Aku menerawang jauh. Bisa saja Teh Ratna merasa tersingkir setelah kami mengenal Wahid, aku jadi lebih dekat dengan Wahid karena waktuku lebih luang sedangkan Teh Ratna sendirian di rumah menjamu para pasien. Kesalnya padaku cukup beralasan, dia yang mengajakku jauh-jauh ke mari, Wahid hanya menunggu kami di Kampung Pedalaman.

Apa yang terjadi besok, biar saja. Aku berharap tidak jadi penonton di tengah kesibukan pekerja kebun di sini.

***


Posted from my blog with SteemPress : http://ceritapria.xyz/2018/07/segelas-pesan-dan-darah-jawa-di-tanah-aceh-bagian-6

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
Join the conversation now
Logo
Center