Margaret Cinta yang Hilang dalam Kapal Gurita 1996 – Bagian 1


Deru ombak masih basah di pantai Balohan, Sabang, pagi itu. Raut kepedihan menyelimuti banyak wajah. Harap-harap cemas menunggu kabar tak tentu. Mata-mata memandang ke laut lepas, tampak mengecil pulau Sumatera. Di sana juga – mungkin – banyak mata menyeka sedih. Ngilu. Perih. Tak bertepi.

Balohan hanya menderu ombak, suara yang semalam memekik kini telah lenyap. Entah karena sudah hilang ditelan malam, entah karena terlalu lelah berteriak. Memanggil-manggil nama, orang tercinta di laut lepas antara Balohan dan Malahayati!


Margaret memeriksa kembali perlengkapan yang akan menemaninya mengarungi lautan berdarah nanggroe. Sejak lama negeri ini sudah dipenuhi perang saudara. Pertengahan Juni tahun depan ia akan meraih gelar magister dari salah satu univertitas di Amerika. Tak perlulah menyebut kampus mana ia belajar itu, terkesan sombong dan angkuh.

Benar. Orang akan memandang dari mana asal universitas bukan berapa banyak ilmu yang telah diperoleh dari belajar di bangku kuliah. Terkadang, universitas terkenal sekalipun jika tak beramal dengan baik sama saja, membuang uang dan mengambil gelar sarjana. Perkara usai. Kerja diterima.

Margaret tidak sepemikiran dengan anggapan kuno itu. Kampusnya tetap saja sama dengan kampus lain. Hanya mungkin interaksi belajar yang berbeda, dilihat dari alumni yang bekerja di berbagai bidang dan prestasi. Tolok ukur demikian hanya milik mereka yang kejam memandang sebuah ilmu.


Hasil penelitiannya sudah selesai, persoalan konflik yang rumit sudah ditulis dan sudah direkam baik-baik di dasar hati paling dalam. Saatnya mengakhiri penat dengan sedikit melihat keanggunan busana ciptaan Tuhan pada alam Aceh. Balutan warna-warni, cerah, aungan ombak, gunung meliuk-liuk, pohon rimbun di sepanjang jalan, dingin menjalar, hamparan sawah menghijau, dan darah! Hasil peperangan panjang!

Rasanya, penat akan usai saat ia sudah berada di tengah lautan. Menghirup udara dingin beraroma asin.

Margaret tersenyum. Senang. Waktunya bergerak!


Tiga hari sebelum 19 Januari 1996.

Margaret sudah duduk manis di bangku paling depan minibus warna pelangi, ia akan berangkat ke sebuah tempat berhawa sejuk. Tak henti-henti pikirannya memikirkan pertanyaan-pertanyaan, serta kesiapan mental melihat petaka di depan matanya empat jam ke depan.

Minibus itu melaju pelan setelah penumpang penuh. Margaret tak bergeming dengan pikirannya sampai ia lupa melirik bangku di sebelahnya sudah terisi.

Sedikit kikuk, Margaret merapatkan pahanya. Ia memperhatikan kembali busana yang dikenakan. Celana jeans warna putih abu-abu, kemeja lengan panjang putih bermotif bunga anggrek, sepatu boot yang selalu menemani langkahnya, serta selendang abu-abu polos. Namun ia masih merasa ringkih berada disamping penumpang tak dikenalnya.

Margaret merasa pakaiannya sudah sopan, menurut aturan peraturan Aceh kala itu. Ia pun memperlihatkan ekspresi santun kepada seluruh penumpang. Karena ia seorang bule, pendatang ke negeri orang, tentu perlu bersikap sebaik mungkin. Ia juga paham, bahasa daerah yang dikuasai hanya sedikit, sulit memang beradabtasi, apalagi dengan orang pribumi yang beberapa jam kemudian akan dijumpai. Mencari translator di masa sekarang bisa saja, ia bisa menggaet mahasiswa akhir di kampus Banda Aceh, namun ia tak mau mengambil resiko, jika terjadi sesuatu, tembakan membabi buta, nyawa translator taruhannya.

Perempuan Amerika ini memilih diam. Belum berani menyapa.

Minibus melaju kencang meninggalkan terminal Banda Aceh, bergerak cepat mengejar waktu, menuju Tangse, Kabupaten Pidie.

***


Posted from my blog with SteemPress : http://ceritapria.xyz/2018/08/margaret-cinta-yang-hilang-dalam-kapal-gurita-1996-bagian-1

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
Join the conversation now
Logo
Center