Selir di dada ini terus mencari dimana sihir-sihir yang kau semburkan bila malam panjang telah bunyikan loncengnya. Pada dada, dimana jam akan jeda berputar mengurung di bibir manis nan basah setelah air hujan mengguyur.
Mulutku basah--. Sejak apa kau berani menamakan segalanya? Apa dan siapa yang kau pahami pada malam dan rembulan yang separuh telah jatuh. Jatuh di matamu. Kilau biasnya dekapi mataku.
Ingin kemana jika matahari telah datang meminang? kesepian pun enggan ribut jika mulut-mulut masih komat-kamit. Mantra pemanggil matahari tuntas sebelumnya.
Ikatlah aku, dari kelelahan semalam, dari kegelapan malam, dari keresahan jiwa yang fana ini, bukankah matahari adalah pemeluk tubuh paling hangat?
Bawa aku matahari, kesabaranku kau uji setelah ini, setelah pagi tiba dengan gegak tawanya.
Jakarta, Juli 2018