Cuitan Rasa

image Souce

Aku kembali melumat pahit,
Pahit yang berkelakar.
Sebab cinta kembali rekah tanpa sebab aku cegah.
Sudah kucoba membabat, membebat, dan mendebat segala macam kemungkinan yang menggema.

Kita adalah kata, yang sulit di eja dan dibaca.
Entah kamu yang buta, atau aku yang tak lagi bermakna.

Aku kerap kali menerka-nerka, berapa banyak koagulasi yang tertumpuk disudut kamarmu.
Kau senang berendam di dalamnya hingga malam semakin jauh, dan cangkir kopimu berulangkali tandas.

Prosaku selalu begini-begini saja; selalu tentang kita yang begini-begini saja. Tanpa pernah usai.

Tergumpal harap, tertuju pada satu nama, terpatri, tertancap disanubari.
Rindu mengendap didasar hati,
Inti dari segala rasa, terarah pada satu jiwa.
Bagai opini yang tetap teguh kuhaga,
Keyakinan pada seseorang.

Nyatanya, aku tak bisa mencinta.
Kenapa tanyamu?

Kujawab; karena ibu pernah berkata, seonggok daging tak boleh mencintai makhluk langit.

Kau terlalu indah untuk sekedar anugerah,
Kau terlalu istimewa untuk sekedar ku cinta.
Untuk sekedar kugagumi pun, kau tak pantas.
Memang benar kata ibu, makhluk langit itu tak boleh turun ke bumi.

Padamu, segala doa tertuju.
Pada cinta, segala harap melepuh.

Bireuen, 23 Juli 2018~

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
Join the conversation now
Logo
Center