Ini adalah pertama kali nya saya mendaki gunung. Tidak pernah ada bayangan sedikitpun dipikiran saya bagaimana rasanya naik gunung itu. banyak yang mengatakan mendaki itu susah, dan ada juga yang mengatakan mendaki itu hal yang mudah kalau sudah ada jalurnya. Tapi apapun itu, bagi saya mendaki tidak ada yang mudah, semua pendakian itu butuh perjuangan, tenaga, tekad, dan usaha untuk mencapai puncaknya. Tidak ada gunung yang bisa kita taklukkan semudah apapun jalurnya, karena yang namanya mendaki pasti penuh dengan resiko.
Seperti yang saya alami bersama teman-teman saya. Saya dan keenam teman saya yang lainnya izah, bella, rio, aulia, amir, dan aldi memulai pendakian kami yang pertama ke burni telong pada 23 april 2016, kecuali aulia, dia sudah terbiasa dengan pendakian karena dia memang dari mapala (mahasiswa pencinta alam). Mengambil jalur dari desa rembune, kami memulai pendakian pada jam 18:35 wib (waktu indonesia barat). Kami sengaja mengambil pendakian malam karena menurut kami supaya pendakian nya lebih terasa santai. Pendakian dari kaki gunung menuju shelter 3 saja kami sudah kesusahan. Dari senter yang menjadi alat penerangan kami awalnya ada 3, menjadi hanya tertinggal satu karena 2 lainnya sudah ada yang rusak terjatuh dan habis baterai. Akhirnya kami mendaki dengan penerangan kurang dan seadanya. Hingga dari kami ada yang beberapa kali terpeleset karena tanah yang kami pijak licin akibat hujan, tapi untunglah tidak satupun dari kami yang terluka.
Kami menempuh pendakian selama 2 jam setengah dari kaki gunung menuju shelter 3, tempat kami membangun tenda dan beristirahat malam itu sebelum melanjutkan pendakian kepuncak besoknya. Jam 21:30 kami tiba di shelter 3 dan langsung mendirikan tenda. Disana sudah ada banyak tenda-tenda yang berdiri tegap milik rombongan lain yang sudah sampai duluan daripada kami. Setelah tenda kami sudah siap terpasang, masing-masing dari kami langsung mengambil tempat dan mengatur posisi tidur yang paling nyaman. Tidak satupun dari kami yang begadang malam itu, semuanya harus mempersiapkan fisik untuk pendakian jam 03:00 wib dini hari besok dan alarm pun sudah kami atur. Jam 03:00 wib alarm berbunyi, tanda kami harus bangun dan bersiap untuk pendakian. Tapi, tidak satupun dari kami yang terbangun, mungkin karena kelelahan hingga kami tertidur tak sadarkan diri. Maklum saja, tubuh kami masih terkejut karena ini pendakian kami yang pertama dan tidak ada latihan fisik sebelumnya. Saya saja sampai berhenti hampir setiap 10 menit sekali untuk beristirahat selama pendakian. Alarm kedua berbunyi, dan kami masih di alam mimpi. Akhirnya alarm ketiga berbunyi pada pukul 03:30 wib, dan kak izah terbangun dan membangunkan kami semua. Sadar bahwa kami bangun telat dari target yang sebelumnya, kami pun buru-buru bergegas mempersiapkan pendakian ke puncak. Bahkan untuk sarapan saja kami sudah tidak sempat, padahal dari sore kemaren belum ada sebutir nasi pun yang masuk ke perut kami.
Pendakian kepuncak lebih ringan daripada pendakian semalam, karena tidak ada beban lagi yang harus kami pikul. Semua perlengkapan seperti ransel dan lainnya kami tinggalkan di tenda. Modal kami bawa hanya sebotol minuman dari masing-masing kami, dan beberapa roti untuk bekal kami di puncak sana. Sebelum memulai pendakian, kami berdoa terlebih dahulu yang dipimpin oleh aldi. Setelah selesai berdoa, kami mengumpulkan semangat, dan barulah kami mulai mendaki perlahan-lahan. Pendakian kami malam itu pun turut ditemani sinar bulan yang cukup terang yang menerangi langkah kaki kami. Belum setengah perjalanan, saya sudah mulai terserang “penyakit gunung” hingga akhirnya saya muntah-muntah 3 kali. Akhirnya kami menghentikan pendakian kami sejenak untuk beristirahat sambil makan beberapa potong roti, dan menunggu keadaan saya membaik. Setelah keadaan saya mulai membaik, kami kembali melanjutkan pendakian kami. Puncak masih terasa jauh dari jangkauan, tapi tidak satupun dari kami yang menyerah. Tidak terasa kami sudah mendaki setengah dari jalur pendakian menuju puncak, dan jalurnya pun semakin curam dengan kemiringan kira-kira 90 derajat. Dari berjalan kami terpaksa mulai merangkak, selain karena jalurnya miring, batu-batu kerikil kecil bisa saja membuat kami tergelicir dan jatuh, sehingga kami memilih cara aman dengan cara merangkak. Karena terkena “penyakit gunung”, langkah saya jadi lambat dan membuat teman-teman saya terhambat. Padahal tujuan kami adalah untuk melihat sunrise dari puncak gunung. Tapi kami sudah berjanji untuk tidak ada yang tertinggal atau meninggalkan. Akhirnya saya menyuruh mereka berjalan duluan tanpa harus menunggu saya. Dan karena tidak tega, mereka merasa harus ada yang mendampingi saya. Setelah mempertimbangkan dan memutuskan, akhirnya rio yang tinggal bersama saya. Perlahan tapi pasti, saya memastikan langkah dengan baik-baik dan hati-hati supaya tidak terpeleset.
Setelah “penyakit gunung” yang menyerang saya, masalah berikutnya datang dari amir. Mendekati puncak, ada tebing yang harus kami panjat setinggi 3 meter lebih. Dan amir menolak memanjatnya karena takut. Wajar saja, dari semua laki-laki dirombongan kami, dia lah laki-laki yang paling penakut. Jadi kami memutuskan beristirahat sejenak sambil membujuk amir. Setelah membujuk amir dan dia pun akhirnya mau, kami mulai memanjat tebing tersebut. Yang memanjat pertama kali adalah aldi, dan disusul aulia, kemudia kak izah. Ketika kak bella hendak memanjat dia terpeleset dan jatuh, tapi untung saja dia sempat memegang tali yang tergantung di tebing itu, dan aldi bersama aulia pun membantu menariknya dari atas. Akhirnya kak bella pun bisa terselamatkan. Dan tibalah saatnya giliran amir yang memanjat, walaupun awalnya dia takut saat melihat kak bella hampir jatuh tapi dia beranikan diri karena paksaan kami. Dan dengan bantuan yang lain akhirnya dia bisa memanjat keatas. Setelah amir tibalah giliran saya, ini adalah pertama kalinya saya memanjat tebing, walaupun sangat susah bagi saya mencari tempat pijakan, tapi saya bisa melaluinya. Setelah giliran saya, rio menyusul dibelakang sebagai yang terakhir tanpa ada hambatan sedikit pun. Setelah melewati tebing, kami melanjutkan pendakian ke puncak. Puncak sudah tidak terlalu jauh lagi, bahkan dari tempat kami berdiri puncaknya sudah mulai terlihat, dan semangat kami pun terpompa kembali untuk menuju ke puncak.
Setelah melalui perjuangan yang berat, dengan langkah tertatih, dan dalam keadaan tubuh yang kurang fit dan lelah, akhirnya kami mencapai puncak burni telong. Semua lelah kami terbayar sudah ketika berada dipuncak. Jam menunjukkan pukul 5:00 wib pagi, begitu mencapai puncak aldi langsung mengumandangkan azan. Dalam cuaca dingin khas nya puncak gunung, kami shalat berjamaah.
Di ketinggian 2462 mdpl, saya mengucap syukur kepada sang pencipta, yang telah menciptakan negeri ini dengan begitu indahnya, dan telah mengizinkan saya untuk melihat sekaligus menikmatinya dari ketinggian ini. Keindahannya sungguh begitu luar biasa. Walaupun kala itu sunrise tidak begitu bagus akibat cuaca mendung, tapi saya dan teman-teman sangat bersyukur telah diizinkan menginjakkan kami di puncak burni telong. Suatu kebanggaan dan kebahagiaan buat diri sendiri.
“Mendaki itu bukanlah untuk menaklukkan gunung, jangan mendaki dengan niat menaklukkan gunung karena itu yang buat kita gagal. Tidak ada gunung yang bisa kita taklukkan, tapi apa yang kita dapat dan pelajari selama dari mendaki itu lah yang harus kita banggakan”.Itulah kata-kata yang pernah diucapkan teman saya kepada saya suatu hari. Kata-kata itu menjadi kata-kata yang saya sukai dan selalu saya ingat.
Kita mendaki bukan untuk diakui, tapi untuk mengakui kebesaran-Nya. Jangan pernah merasa bangga akan banyak gunung yang sudah kamu taklukkan, kami bersyukurlah atas izin-Nya dalam setiap langkah kakimu. Kita mendaki bukan sebagai kebanggaan, tapi akan sebuah pengalaman, pelajaran dalam setiap perjalanan, yang akan kita banggakan. kita berada dipuncak bukan berarti kita adalah orang yang tertinggi, kita berada disana adalah supaya kita lebih dekat kepada-Nya, sejajar dengan awan, dan dekat dengan matahari. Ini bukan tentang pengkhianatan, tapi tentang sebuah perjalanan.