Saya tak paham caranya bermanis-manis kata untuk mengungkapkan bagaimana pada hari ini, komunikasi bukan lagi sesuatu yang menjadi masalah. Di era yang segalanya serba digital ini, banyak hal menjadi kian mudah. Dahulu, untuk saling berkirim kabar saja butuh waktu berhari-hari lamanya dengan perantara tukang pos. Namun hari ini, kita bisa saling tatap dengan sejawat yang berada ribuan kilometer jauhnya berkat bantuan teknologi panggilan video. Pula untuk mengirim uang. Setelah penggunaan wesel pos tergeser oleh kemudahan mengirim uang dengan perantara transfer tunai antar perbankan, kini hal itu kian mudah dengan adanya teknologi e-banking dan e-money. Dunia yang sangat luas ini memang tidak berubah menjadi selebar daun kelor. Namun sadar atau tidak, teknologi telah menjadikannya hanya selebar layar ponsel pintar saja.
Perkembangan teknologi dan sistem informasi dalam pandangan saya pribadi mencapai puncaknya ketika media sosial mulai ramai digunakan. Dengan adanya media sosial ini, sekat jarak nyaris hilang sama sekali. Saya masih ingat ketika masih aktif dalam organisasi mahasiswa dulu, saya sempat dimarahi oleh ayah karena meminta izin keluar rumah untuk rapat di warnet. Untuk generasi seumuran ayah saya, rapat dan warnet adalah dua hal yang sulit dipahami apa hubungannya. Rapat berarti pertemuan tatap muka untuk membahas sesuatu hal, dan warnet adalah tempat membuka situs bokep. Anu, maksud saya tempat berselancar di internet. Terlebih saat itu, rerata warnet yang ada di kota saya menyediakan perangkat komputer yang dipisahkan bilik-bilik tertup. Mungkin ayah saya berpikir, rapat apa pula yang dilaksanakan dalam bilik tertutup seperti itu? Terlebih, mengingat kapasitas ruangannya yang relatif kecil dan hanya mampu menampung paling banyak dua orang. Tapi sebentar dulu, darimana ayah saya tahu tentang bilik warnet dan kapasitasnya itu?
Lupakan tentang warnet. Yang ingin saya sampaikan disini adalah, bagi orang-orang seusia ayah saya rapat jarak jauh melalui layanan video chat adalah sesuatu yang asing. Sama asingnya dengan fungsi lampu sein bagi sebagian emak-emak. Namun begitulah yang namanya kemajuan teknologi. Barangsiapa yang tidak siap menyesuaikan diri, maka akan terlindas olehnya.
Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi ini pada akhirnya berpengaruh juga dalam bidang politik. Menurut pengamatan saya, di Indonesia hal ini terasa kentara sekali saat pilkada DKI jakarta tahun 2012 lalu. Saat itulah pertama sekali muncul istilah Cyber Troops, Cyber Army, dan semacamnya. Pada intinya itu adalah istilah untuk tim kampanye yang bertugas melakukan canvassing politik di teritorial maya internet. Tugas mereka adalah membangun pencitraan si calon di dunia maya, menepis isu negatif, sebagai buzzer, hingga menyerang calon yang menjadi lawan politik. Salah satu cyber army yang terkenal garang saat itu adalah Jokowi-Ahok Social Media Volunteer (Jasmev).
Semakin kesini, penggunaan media internet sebagai alat kampanye semakin lazim saja dilakukan. Bahkan sekarang konsultan media yang mengkhusukan layanan kampanye media sosial berumbuh bak tahi lalat di kulit saya. Semakin berlipat ganda. Sebut saja pesta politik mana yang luput dari kegaduhan di sosial media? Dari pilpres hingga pemilihan kepala desa, internet khususnya sosial media menjadi lapangan baru yang terkadang gaduhnya melebihi di kenyataan.
Pada dasarnya, social media campaign adalah aktivitas pendukung saja untuk kerja-kerja pemenangan di lapangan nyata. Meskipun penting adanya, namun ianya bukanlah yang utama. Kampanye di sosial media bertujuan untuk memperkuat branding yang dibangun serta membangun opini positif terhadap si calon. Media sosial juga menjadi alat untuk memangkas jarak antara si calon dan konstituennya. Melalui konten-konten yang dihasilkan, si calon dapat memanfaatkan media sosial untuk membangun engagement dengan calon pemilih.
Namun celakanya, hari ini banyak sekali politisi yang salah kaprah dalam menyikapi keberadaan media sosial ini. Mereka menganggap kampanye di media sosial adalah sesuatu yang utama. Bahkan tak jarang kita menemukan para politisi yang menggunakan variabel popularitas di media sosial sebagai tolok ukur keterpilihan dirinya pada pemilihan umum.
Yang lebih parah lagi, saya menemukan beberapa politisi yang hanya mengandalkan sosial media sebagai alat kampanye. Mereka ini adalah orang-orang yang selama ini tak pernah muncul dalam kegiatan-kegiatan sosial di tengah-tengah masyarakat namun ujug-ujug muncul sebagai calon wakil rakyat menjelang pemilu. Mungkin bagi mereka ini, bertemu dan bergaul dengan para pemilih adalah sesuatu yang sia-sia belaka. Membuang banyak tenaga juga dana.
Saya menyebut golongan ini dengan istilah politisi online. Bergerak luwes di dunia maya namun gagap dalam menyikapi permasalahan aktual yang terjadi di masyarakat. Dan percayalah, golongan politisi ini memang ada dan jumlahnya semakin hari semakin berlipat ganda.
Saya tidak tahu persis mereka ini terlalu naif atau bagaimana. Apa mereka berpikir kalau pemilihan umum itu ditentukan dengan jumlah like dan komentar macam "mantap ketua" yang muncul di postingannya. Apa mereka menganggap pemilu diselenggarakan dengan sistem Facebook Polling atau dengan fitur ask me a question di Instagram? Meskipun Indonesia menjadi negara ke empat dengan jumlah pengguna Facebook paling banyak di dunia tapi percayalah wahai para politisi online, nyaris setengahnya itu adalah akun palsu! Silahkan saudara hitung, akun olshop pembesar payudara dan penumbuh bulu saja sudah berapa banyaknya. Ditambah lagi dengan akun peninggi-pemutih-pelangsing yang suka spam komentar tak tahu tempat itu. Belum lagi akun palsu yang dibuat oleh insan-insan galau buat kepo-in akun mantan dan pacar barunya.
Maka dari itu, bertaubatlah kalian politisi online. Masih ada waktu membangun hubungan dengan orang-orang disekitar anda. Masih ada kesempatan untuk melakukan tindakan nyata alih-alih sekedar pencitraan di sosial media. Jikapun tidak terpilih kali ini, tetap sabar karena masih bisa mencalonkan diri 5 tahun lagi. Bila masih belum terpilih juga, silahkan coba 5 tahun selanjutnya. Pokoknya selama Indonesia masih menganut demokrasi thogut dan belum menganut sistem khilafah, percayalah pemilu itu akan tetap ada.
Dan terakhir sadarlah, dunia nyata itu tidak hanya selebar layar smartphone-mu saja!
Bandung, 27 Januari 2019
Salam manis
@senja.jingga