Aku menemukan tips menulis deskripsi yang sama dari 2 orang yang berbeda; “Hindari kata sifat!!!” dengan 3 tanda seru. Kedua orang tersebut lelaki, jurnalis dan memiliki gaya penulisan deskriptif. Lelaki pertama bernama Hasudungan Sirait. Kutemukan “Hindari kata sifat!!!” sebagai fatwa dari suaranya yang tak bisa menghindar dari logat Batak.
Usai tsunami, AJI Banda Aceh menyelenggarakan pelatihan jurnalistik karena puluhan jurnalis Aceh yang menjadi korban bencana dahsyat tersebut. Saat itu awal 2005. Bertempat di Paviliun Seulawah, Banda Aceh, pelatihan tersebut memberi pembekalan bagi jurnalis baru dan meningkatkan pengetahuan bagi jurnalis yang tersisa. Nama-Nama harum dunia jurnalistik Aceh seperti Nani Afrida, Hotli Simanjuntak, Hermanto Tobing, Tarmizi Harva, Maimun Saleh, Almarhum Fachrul Radzie Gade dan belasan nama lain yang kulupa turut hadir.
Aku yang cuma berperan sebagai juru tulis (notulen) turut menuai ilmu dari forum tersebut. Pesan yang kubawa hingga kini saat menulis. Namun, beberapa kendala kerap muncul saat menghindari kata sifat. Berhubung melimpahnya segala yang terinderai oleh sensor di tubuh dan segala yang menimbulkan gejolak hati serta perasaan turut menjadi Warga Semesta Kata Sifat. Warna, suhu, rasa, suara, vista, aroma, citra dan nuansa.
Uraian kata yang muncul saat menghindari kata sifat akan mengajak pembaca untuk hadir dan mengalami hal yang kita tulis. Titik kesadaran inilah yang membuatku berupaya keras menghindari kata sifat. Ingat, kawan… menghindari, bukan mengharamkan.
“Bagaimana menggambarkan aroma dengan kata? Ternyata mudah, dengan menggunakan komparasi. Bagaimana menggambarkan warna dengan kata? Komparasi. Menggambarkan suhu dengan kata? Juga komparasi. Menggambarkan rasa? Masih komparasi jawabnya. Suara? Vista? Aroma? Komparasi menjadi jawaban atas semua tandatanya yang mempersoalkan cara menggambar hasil penginderaan dengan kata” begitulah Hasudungan Sirait memberi pemaparan 13 tahun lalu.
Saat ia menyampaikan penjelasan, aku teringat pelajaran majas di SMU. Satu poin pemahaman sudah kumasukkan ke saku. Benar saja, tips tentang penggunaan majas meluncur dari mulutnya. Ujung jemariku bergantian menonjok tombol keyboard berganti-ganti, mencatat setiap suara yang keluar dari paparannya.
***
Beberapa bulan kemudian, aku berangkat ke Sabang untuk mengikuti pelatihan jurnalistik. Kali ini sebagai peserta. Boss Yuswardi Ali Suud dan Boss Adi Warsidi yang saat itu menjabat sebagai Redaktur Pelaksana dan Editor Koran AcehKita memilih tak berangkat. Aku yang paling junior ketiban pulung. “Rejeki nomplok”, pikirku. Bisa jalan-jalan dan dapat ilmu. Lagipula label di undangan pelatihan sungguh menggoda. Pelatihan Peliputan Indepth Reporting yang diselenggarakan Yayasan Pantau dan International Center for Journalist.
“Kapan lagi awak bisa dapat kesempatan begini…?!” pikirku.
Penyelenggara membagi pelatihan sesuai dengan format media massa, radio, televisi dan cetak/online. Sebagai kontributor media cetak, aku berada di bawah asuhan Andreas Harsono. Jurus Bang Hasudungan Sirait keluar lagi dari mulutnya. “Hindari kata sifat!!!” Terkonfirmasilah pengetahuan awal setelah mendapat ’second-opinion’ dari Koko Andreas. “Gambarkan hasil penginderaan dengan kata,” ujarnya lagi. Sebagai penutup, ia memerintahkan kami menuliskan kisah orang-orang yang kami temui di sekitar Hotel Sabang Hill sebagai ujian tulisan.
Malamnya aku mencoba mengurai kembali pelajaran, setelah ngobrol dengan Maulana Akbar yang menjadi instruktur jurnalis televisi. Aku dan Oki Rahmatna Tiba mendengarkannya berkisah mengenai cekaman suasana 1998. Keduanya lantas kembali ke kamar masing-masing, aku yang terakhir beranjak dari taman di hotel. Tiba di kamar, aku teringat wajah Widyawati, istri Almarhum Sopan Sophiaan. Aku ingin menggambar parasnya dengan kata.
“Widyawati Cantik” sudah. Itu saja. Lalu aku membalikkan peran sebagai pembaca yang samasekali tak pernah melihat Widyawati. Benar. Aku tak mendapat pengetahuan dengan kata sifat yang cuma menyebut ‘cantik’ sebagai imbuhan nama. Ada banyak ragam cantik pada paras perempuan.
Kemudian aku mencoba ‘membunuh’ kata sifat dalam “Widyawati Cantik”
Paras Widyawati menyajikan padaku sebentang pemandangan. Di matanya kutemukan Aurora Borealis saat mentari tengah melintasinya. Gelung rambutnya yang legam menyesatkan pandangan sebagai rimba tropis berisi pepohonan purba dengan batang berbalut lumut. Lengkung alisnya membuatku terkenang sepasang Katana karya Hattori Hanzo, menantang sekaligus mengancam kenakalan hasrat lelaki. Ketika ia menarik sudut bibirnya menghadirkan senyum, benakku menemukan busur panah Arjuna yang tengah terpentang menggentarkan setiap diri prajurit Kurawa di Padang Kurusetra. Aduhai… bangir hidungnya menantang hasrat tiap Rock Climber, laksana Tebing El Caminito del Rey di Malaga sana… Juga pipi yang saat merona serupa pauh dilayang (mangga diiris). Belum lagi bulumatanya, kawan… melengkung berpendar saat segaris bahagia menghadirkan senyum, menyajikan cahaya terbit mentari, berhias tatap sepasang netra yang menenggelamkanku ke lubuk Palung Mariana.
Aku tersenyum. Cukup untuk mengulang-kaji hati mempraktikkan materi di kelas hari ini (13 tahun silam). Menghindari 1 kata sifat telah membuatku melukiskan paras perempuan yang kukenal memerankan Yuli di film Pengantin Remaja (1971) tersebut dengan 121 kata. Cukup untuk mengulang-kaji, meski tak cukup menjabarkan makna. Telah kubangkitkan ia dalam benak, setelah sebelumnya membunuh lukisan paras berlumur pesona dalam 2 kata, “Widyawati Cantik”.
Apakah gambaran tersebut akan menghadirkan paras Widyawati di benak pembaca. Ooo… tentu saja tidak, Wahai Saudari dan Saudara Penghuni Nusantara. Tak sedikitpun, tak setitikpun dan tak segarispun wajahnya akan tergambar dalam benak pembaca. Justru aku merasa sukses membiarkan imaji pembaca (yang belum tau parasnya) untuk memerdekakan penjelajahan angan dan menafsirkan keindahan raut berisi jendela-jiwanya. Aku tak ingin memenjarakan pembaca dalam makna yang kutafsirkan sendiri. Sebab, aku ingin menulis untuk membagi kemerdekaan kepada pembaca, bukan sepetak bui bernama makna yang telah kumonopoli.
***
Gema debur ombak Samudra Hindia menjalar ke dalam telinga, mengantar tidurku bersama bayang yang baru mampu kulukis dengan 121 kata…