Bibirku mencandu tekstur kenyal ketika mengapitnya. Di antara gerbang bagi segala yang ingin kuperbolehkan saja bisa melintas atau masuk; entah itu kunyah, isap atau kulum. Seperti ia yang tengah kuberi izin kini. Apit bibirku meresapi tekstur yang selalu membuat mata terpejam, kenyal nan liut menyembat. Tiap saraf bibir merasai pergesekan ketika kulum bermula memindai kontur yang terasa seperti mengulum juntai gelambir menggelepai.
Mataku menyayu tiap itu terjadi, antara pejam dengan beliak, sesekali bekerjap. Terkadang terpejam penuh ketika di antara bibir, kenyalnya yang seperti repih itu berpadu dengan muncungku, dengan napas tertahan oleh hasrat. Ketika saliva terbit merabai rasa yang akan segera tiba. Rasa tergesa kemudian hadir ingin menjadikan peleburan lebih gegas. Waktu seperti beku, enggan melaju.
Napas? Usah kau tanya lagi. Degub jantung mendentam mengharap kami segera beradu, berpadu, menyatu. Tatap tak lepas dari tuju. Kenyal bertemu kenyal, berpadu. Saat selaksa bintil papilla di lidahku mencecapnya, ketika ia luruh oleh kunyah, menyatu dengan saliva, menjejakkan segala yang kurindui tentang manis-gurih. Berpadunya kenangan dengan tujuan menggapai buncah gelora.
Ketika rasa dengan kenang sungguh lesat menggapai tuju. Lebur ia dalam rongga mulutku usai geligi berpadu mengkerkah. Legit melejit genit. Kenyalnya berpadu kenyal lidahku. Baur. Kulum melingkup bentuk, memecah kerusung yang membungkusnya, burai sudah serpih yang terbungkus dalam lindungnya, terberai. Amboy!
Kata seperti sublim oleh rasa yang tengah berpadu. Membangun nuansa. Menuliskannya dalam catatan kenang yang hening. Aku dan dia baur dalam kami. Seperti aku dan kau menjelma kita.
***
Bertahun silam, Mamak memperkenalkanku dengannya sebagai kue dadar atau dadar gulung. Bertahun pula nama kue dadar mengendap dalam kepala, tak terganti. Kemanapun aku pergi, aku kerap menemukannya bersama segala kenangan atas nama, kisah dan rasanya. Kenangan ketika mamak menggorengnya di atas kuali berlantai datar, sebut saja kuali flat-earth. Adonan tepung cair yang dituangkan ke permukaan penggorengan dengan minyak yang telah menguap, menghasilkan selembar tepung yang bulat-datar.
Mamak menumpuknya di sebuah wadah, persis pedagang martabak yang sedang membuat canai. Usai menggoreng cairan tepung menjadi lembar-lembar, Mamak menggulungnya bersama inti, parutan kelapa yang sebelumnya telah digongseng bersama gula merah. Kelapanya mesti dalam kondisi madya, tak terlalu mudah pun tak terlalu tua.
Setelah pindah ke Banda Aceh, sesekali aku masih bertemu dengannya, tanpa mempedulikan namanya. Bu Dibyo yang memperkenalkan namanya padaku. “Ini timphan ‘bawalah daku’” ujarnya. Dahiku berkerut, tak paham dengan maksudnya. Sepertinya ia paham. “Kalau orang Aceh bilang, ini timphan ba lon, kalau diterjemahkan ke Bahasa Indonesia, jadinya timphan bawalah daku,” ujarnya sambil tersenyum memamerkan gusi yang tak lagi bergigi.
Sore ini kunikmati lagi timphan ba lon untuk kesekian ribukalinya. Bersama kue lain ia hadir di meja ini oleh kemurahan hati seorang kawan yang membelikannya siang tadi. Setelah Marxhause menyodorkan sebuah plastik putih berisi timphan ba lon yang tinggal sebiji lagi. Sekonyong teringat lagi aku dengan pernyataan Bu Dibyo, “Timphan bawalah daku,” menggema begitu saja dalam kepala. Benakku menangkap kenangan sebuah lagu dan menyebut nama penyanyinya di belakang namanya.
“Bung, ini namanya Timphan Ruth Sahanaya,” ujarku dengan sisa kantuk yang baru terbasuh 5 raupan air ke muka. Sebentuk kemerut mewujud di jidatnya. “Maksudnya, Bung?!” ujarnya dengan tampang bingung. “Kue ini, kalau dalam bahasa Aceh ‘kan timphan ba lon, timphan bawalah daku. Cuma Ruth Sahanaya yang punya lagu berjudul Bawa Daku Pergi. Jadi kupikir, mulai sekarang kita sebut saja kue ini dengan Timphan Ruth Sahanaya,” paparku bersambut gelak-tawanya yang menggelegar.