Kepada Yang Kurindu,
Adinda Meet-Up
di-
Tempat.
Dengan Rindu
Hei Dinda Meet-Up. Bagaimana kabar engkau sekarang? Adakah kita akan bersua lagi. Lama sudah temu tak hadir di antara kita. Juga kembang perjumpaan bernama kopi, jus, ayam bakar, sapi guling dan kambing kebab. Kemana saja engkau selama ini? Mengapa tidak lagi kita kerap bersisian di persimpangan Steemit?
Ah… aku terlalu banyak bertanya.
Sesungguhnya ini terjadi bersebab rindu. Meski saat engkau kerap hadir melintas di persimpangan gagasan, aku mulai merasakan iri. Sebabnya sederhana saja, aku tak ada di situ bersama engkau; bercengkrama di antara tawa dan hindang. Pada tawa, kelakar dan canda yang membumbung dalam nuansa temu. Rindu yang sukar kuberi judul ini punya banyak pilihan nama; Rindu Tak Jelas, Rindu tapi tak Kenal, Benci tapi Rindu, Seolah Rindu, Sepertiga Rindu, Rindu-Dendam, Rindu yang Membunuh. Terlalu banyak kandidat nama dan kategori untuk rindu yang sedang kini kuemban.
Bahkan, di kepala Bookrak-pun tak lagi kujumpai engkau yang bercokol dengan keterlibatan makhluk dari negeri jauh; di kedalaman benak sang pengkhayal.
Ayolah… kapan lagi kita berpadu dalam temu? Kabari aku engkau sekarang ada di mana. Mungkin aku akan menjemputmu untuk berbagi ini rindu. Denyutnya terasa makin menetak batin. Seberapa keras aku berupaya, daya dalam diri tak cukup mampu menepis rindu pada engkau seorang. Atau, sekarang engkau telah berganti rupa? Apa mungkin engkau telah berganti nama, tempat tanggal lahir, pekerjaan dan golongan darah?
Dinda Meet-Up yang baik. Usah marah kala membaca celotehku tentang engkau. Kau pasti paham betapa orang yang tengah merindu seperti aku ini akan tampak nyiyir menjabar resah. Seolah tak esok, tiada satu jam di hadapan. Bahkan tiada kepastian yang dapat kupaham selain kini dan di sini. Demikianlah ghalibnya orang merindu.
Sematkan saja lakab lebay atasku. Tak segarispun kutampik tudingmu. Bahkan tuduhmu akan kuhadapi dengan pengakuan. Untuk apa berlama-lama kupendam rasa yang cuma aku sendiri tau, sementara engkau mungkin tengah mereguk segela Mojito di pesisir Rio de Jeneiro sana. Atau mungkin engkau tengah terlampau lelah muncul di tengah keramaian. Jangan-Jangan engkau sedang suka menyepi, menimba hening dari tepian rimba.
Bisa saja engkau tengah menciduk segayung hening dari sebuah telaga bening dalam naung serumpun bambu. Mengurai hingar yang hinggap di sekujur kulit. Adakah ramai menimbulkan gatal bagimu? Aku paham betul betapa sukar meraih tenang kala gelisah telanjur berulah dalam desah. Siapa yang bisa menahan pergolakan batin ketika sebentuk hentak berontak dari dalam diri. Aku paham betul yang engkau hadapi, Wahai Meet-Up.
Itu sebab ini layang kukirim meski beralamat entah atau antah-berantah. Percayalah, rinduku padamu sungguh berulam jantung. Seperti menung di kala mendung berpagar murung. Menggaung. Entah dengan apa mesti kugambar ini rindu ketika tinta tak mampu lagi mewakili warna rasaku. Ketika rintih tak mampu menyuara derita. Saat lajunya bergerak maju tanpa sedikitpun kupacu. Sewaktu debarnya menghadirkan getar yang bikin gegar.
Kapanpun engkau siap kembali hadir dalam hariku, kusambut engkau dengan tangan sepasang lebar membentang. Mungkin beserta sebentuk pelukan gemas sebab sudah terlalu lama engkau menumbuhkan rindu menjadi serumpun belukar di ruang pandang dan sepinya diri. Kupikir tak perlu lagi kujalin kata sebab ‘rindu’ telah menjabarkan segala yang kuinginkan tentang hadirmu kembali.
Percayalah, rindu ini tak bisa kuparkir. Juga tak mampu kupaksa berlibur.
Salam Rindu Selalu,
Sang Diyus