Muharram

Mengapa Umar memilih Qamar untuk menandai waktu? Padahal cahya Syams lebih gemilang terangnya. Tentu bukan sebab berima dengan namanya. Kita lantas mematuhi bulan sebagai penanda. Tak cuma berarti kata benda, bulan juga menjadi bentuk waktu yang membelah tahun menjadi 12. Tahun juga bentuk waktu yang kita petik dari perjalanan Bumi bergerak melingkari Matahari.

Peristiwa berkelindan dalam waktu. Menjadi penanda masa gemilang, muram, ceria, resah, galau, gembira. Semua berada dalam kelindannya. Menanti terjadi, jika akan. Menjadi pelajaran ketika sudah. Sudah menjadi galibnya kenyataan hidup ketika pada salah yang sudah terjadi kita belajar, bukan pada benar. Sebab, benar cuma butuh pengulangan, tanpa perlu lebih dalam dipelajari.

Peradaban masih berhias duka. Mungkin akan selalu seperti itu. Sekedar menjadi bahan ajar di ruang-ruang kelas, pengajian, seminar, lokakarya, muktamar dan musyawarah. Selebihnya, catatan pengulangan yang menunjukkan betapa secara umum manusia sesekali lebih dungu dari keledai. Sebab masih mengulang perang, menuliskan fitnah sebagai candu, memamah fitnah sebab kecanduan serta kemalasan atau sekedar rasa sok tahu, sok update, biar tampak kekinian.

Ternyata, tak semua orang punya waktu untuk belajar dari kesalahan diri sendiri, apalagi para pendahulu. Sebentuk kepurbaan genetik perkara kehendak berkuasa yang melampau daya diri. Hingga ketika tangan memegang tampuk kuasa, daya diri tak mampu memanggulnya di bahu, bergeming dari tanahpun tidak. Tak banyak orang belajar dari kesalahan seperti perbandingan jumlah pasir dengan berlian.

Sementara, yang memetik pelajaran merasa takut ketika memberi nasehat, ia akan menjadi orang pertama yang mengalami ujian dari nasehatnya sendiri. “Senjata makan tuan” dan sebentuk khawatir akan cemoohan ketika ‘cakap tak serupa bikin’ mewujud sebagai momok yang menggetarkan batin. Sehingga nasehat bijak cuma mengendap dalam pikir, berada di mulut para sufi yang hidup menjauhi keramaian dan menjadi barang mahal bagi tiap diri.

Waktu terus melaju pada sebentuk lintasan bening, yang tak tampak tapi ada. Entah sebagai konsepsi dalam kerangka pikir atau sebaris rumus fisika. Sebab waktu adalah satu-satunya benda yang tak bisa ditimbang bobotnya. Tak bisa diraba wujudnya. Arloji dan jam dinding sekalipun cuma sekedar interpretasi atas waktu. Bahkan sebentuk perdebatan klasik soal kalender lunar ataupun solar yang paling benar. Pertikaian pikir yang semata menyisakan kepastian bahwa kita telah membuang-buang waktu dengan memperdebatkan format mana yang paling sejati.

Begitulah. Sampai besok kita masih bersandar pada kalender solar ketika mencatat peristiwa setelah tadi malam berdebat hingga leher di urat menggelembung. Sementara waktu akan tetap seperti itu, masih akan seperti kemarin dengan kadar kepastian yang mendekati iman. Sebentuk optimisme tentang hari esok yang selalu akan datang. Entah sebagai penebus kesalahan, upaya memperbaiki diri, atau sekedar mengulangi kesalahan yang sama.

Waktu. Benda yang atasnya Tuhan bersumpah. Bagian paling ada dan paling kerap terabaikan oleh kenakalan bawaan untuk menyepelekannya. Padahal para atlet mendulang prestasi dengan menghayati tiap milidetiknya dalam berpacu. Telah nyata di hadapan, betapa aku sendiri terlalu abai menghayati waktu dengan karya nyata untuk sesama. Begitu keras waktu menjadi peringatan setelah anugrah hidup melekat di diri.

Maka, Muharramlah yang terpilih menjadi bulan pertama penanda kalender lunar Hijriyah. Sebuah peringatan keras untuk tidak menganiaya diri, sekurang-kurangnya dengan tak menyiakan waktu itu sendiri. Selamat menapaki 1440 Hijriyah!

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
Join the conversation now
Logo
Center