Pedasnya Gula Lola

Menonton Dek Lola Astanova memainkan We Are The Champion koq bikin aku jadi kepingin belajar gitar lagi, ya? Siapa tau, silap-silap bisa duet. Dan… ehm… koreografi yang ia tampilkan membuat sensualitas pole-dance para penari striptease kalah jauh. Ketelanjangan mereka tak ada apa-apanya di banding menonton Dek Lola pencet-sana-pencet-sini, tanpa menanggalkan sehelai benangpun dari tubuhnya.

Padahal videonya cuma berisi adegan dia dan piano yang berpola kotak-kotak mirip papan catur atau pola Kain Poleng khas Bali itu. Pertama kukira ini soal merk pianonya, Steinway & Sons, yang bikin Dek Lola jadi keren. Bikinan Jerman yang satu itu memang masih menempati harga piano termahal di dunia.

Atau mungkin body-nya yang bikin aku panas-dalam, panas-dingin, kepedasan tanpa cabe? Tapi begitulah adanya. Ada yang terusik dengan hasrat musikalitasku, juga kelelakianku. Alhamdulillah… menatap tubuhnya membuat aku semakin yakin tentang kecenderungan seksualku sendiri.

Sempat terlintas ingin melakukan aktivitas bodybuilding, tapi takut dengan pameo, “Perempuan suka lelaki berotot, padahal lelaki berotot cenderung menyukai lelaki berotot lainnya”. Serba salah jadinya. Padahal aku ingin serba benar saat bersiap menghadapi Dek Lola.

Atau, jangan-jangan karena komposisi lagu We Are the Champion yang begitu kompleks hingga belum ada tandingannya dalam hal menggambarkan nuansa juara hingga kini? Sentuhan Farrokh Bulsara sungguh kentara dalam komposisi besutan Queen yang satu ini. Sukar mencari lawan seimbang untuk rangkai nada semegah ini. Mungkin cuma Bohemian Rhapsody yang mampu menandinginya, atau For the Love of God milik Steve Vai? Entahlah.

Di ujung jemari Dek Lola yang menyerupai rumpun bambu itu, lagu ini menjadi lebih bertenaga. Aku jadi kepingin menjadi juara di hatinya. Tanpa menyentuhnyapun aku sudah menjadi juara dengan menontonnya menusuk-nusukkan jemari di atas tuts Steinway&Sons. Kelelakianku menjadi makin beralasan oleh sporty-nya penampilan perempuan dari kampung Uzbek itu.

Sebagai pianiswati, ia tak tampil ortodoks. Mulai warna piano yang keluar dari pakem, sampai pakaiannya yang lebih mirip atlet ketimbang pianis hingga kepiawaian 10 jemari lentik itu. Menjuntai gemulai, menghunjam sepasti anak panah bidikan Vasusena. Denting-Denting dawai hadir melengking, menggeram, mengaum, menggemakan gelegar dalam hentak yang sesekali gemuruh, di lain tempo begitu lembut menyentuh.

Tubuhnya juga tak bertindak sebagaimana kebanyakan pianis, terpacak seperti terdakwa di kursi ruang sidang. Ia setengah bangkit dari duduk saat menggentakkan pijak ke pedal. Melenting, matanya terpejam, kadang setengah membuka menyatu dengan nada. Di bagian refrain ia memberi bonus visual selain tugas utama menghadirkan pesona audio.

Kupikir bakal lebih lahap makan siangku dengan lalapan dan sambel terasi jika kubarengi menonton videonya yang satu ini. Mungkin agak susah dapat sensasinya kalau kaum perempuan menonton video ini. Sungguh merugi para lelaki yang belum menontonnya. Coba saja, jenis masakan pedas apa yang terbayang saat engkau menontonnya.

Hitam dan Putih memang bukanlah warna. Setidaknya demikian menurut Ir Irwansyah, guru Fisika di SMU Negeri 1 Langsa. Namun, permainan piano serta koreografinya saat menonjokkan ujung jemari di atas tuts sungguh menumpahkan tinta dengan selaksa warna. Warna yang hadir dari suara melodis, warna yang tergores oleh gestur dan warna yang lahir dari padunya segala yang tunduk-patuh menyatu dalam harmoni.

Oh… Dek Lola. Menonton video kau yang satu ini sungguh bikin aku menjadi juara. Seperti nada terakhir lagu We are the Champion itulah engkau menggantung anganku dengan jarak yang mengantarai kita.

Tubuhnya menggeliat dalam rentak nada, serempak. Nada-Nada seperti berhambur menggelayuti udara. Menyatu dalam kekacauan yang harmonis di ujung jemarinya. Mataku terpancang, tubuhku terpacak membatu menatap hentak, rentak dan geliat yang menyatu dalam rempak irama. Indah, menggemaskan dan bikin geregetan saja adek cantek yang satu ini. Awak jadi pusing dibuatnya. Sementara ini, akan kau buat tidurku tak lena dengan lengan kanan melintang di jidat. Bersama mimpi untuk menghadiahimu sepiring Rujak Ugroh Indrapuri.

Source:

  1. Image1
  2. Image2
  3. Image3
  4. Video
H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
Join the conversation now
Logo
Center