Menyindir itu kadang enak, kadang pula tak enak. Enaknya kalau karena tak menyerang langsung, orang yang kusindir tak mampu membalas. Tak enaknya kalau orang yang kusindir tak sadar bahwa kepadanyalah sindiranku beralamat. Atau, ada 2 kenyataan yang lebih parah lagi: Ia berpura tak tahu dan tak tahu samasekali ketika aku telah meluangkan waktu untuk menyindirnya dengan mencurahkan pikiran untuk merangkai gagasan.
Oleh sebab itu, maka ini kali akan kuungkapkan saja ketidaksepakatanku secara gamblang atas ide Bang Dody Bireuen soal Platform Karma dalam senarai bertajuk Berbagi Kebaikan Melalui Platform Karma. Meski belum pernah bersua, aku merasa memiliki sebuah keakraban mendalam dengannya; sebab ia pecinta desentralisasi dan demokrasi pada kadar yang tepat. Itu sebab berani kuungkap ini secara gamblang. Bukan untuk menyerang beliau, melainkan mempertanyakan mengenai filosofi di balik platform Karma. Atau, kalau kata filosofi terlalu berat untuk dipikul oleh Dilan sekalipun, kuganti frasa tersebut menjadi, “Apa landasan pikir yang menyusun platform Karma?”
Aku menduga, platform Karma mengadopsi konsep karma dalam ajaran agama Hindu, yang menekankan bahwa setiap perbuatan yang kita lakukan akan mendapat balasan. Aku tak hendak membahas mengenai sumber konsep karma dari sudut pandang teologi, melainkan dari sudut pandang platform Karma sebagai sumber pendapatan berbasis cryptocurrency.
Sebagai contoh, di jagad cryptocurrency, kebaikan menggunakan aplikasi eSteem di HP untuk memposting konten di Steemit akan berhadiah upvote dari Good Karma. Demikian pula saat kebaikan memposting konten melalui fitur tertentu dari situs berbasis WordPress akan mendapat karma berupa upvote dari SteemPress.
Sejauh ini menurut pandanganku, karma yang kita dapat masih baik-baik saja. Namun, ketika di tahap lanjutan muncul platform bernama Karma yang memberi berkah imbalan mata uang kripto, aku jadi khawatir. Bagaimana nasib keikhlasan? Atau, jika kekhawatiranku tampak off-side, kita runut saja pandanganku tentang kebaikan. Aku akan meninjaunya dari 2 sudut pandang saja.
Sudut pandang pertama adalah kebaikan murni. Kebaikan yang kita lakukan atau temukan sehari-hari. Menolong seorang nenek mengangkat barang belanjaan, membantu seorang tunanetra menyeberangi jalan, menolong anjing yang terjepit, memberi pakaian kepada orang miskin dan ribuan contoh kebaikan lainnya.
Sudut pandang kedua adalah kebaikan buatan. Jenis kebaikan yang dilakukan dengan tujuan mendapat eksistensiali; pujian dan/atau tujuan jabatan. Tanpa keberadaan platform Karma, tindakan ini juga sudah berlangsung dalam peradaban manusia. Kebaikan karena mengharapkan manfaat tertentu, entah itu kesan (citra – bukan merek pelembab kulit), mungkin itu pujian, bisa jadi penghormatan atau terkadang jabatan.
Sebagai manusia, aku bisa saja melakukan kebaikan jenis kedua. Tetapi di dalam diri, aku berupaya keras untuk menghindari ‘spesies’ kebaikan yang satu itu. Masih tersisa cukup ruang di muka Bumi untuk menyembunyikan tiap kebaikan yang mungkin kulakukan. Sebab, bumi terlalu luas, sementara kebaikan yang kulakukan tak banyak jumlahnya. Hahahahahaha…
Lantas, bagaimana melakukan kebaikan atas kesaksian lensa? Apakah orang lain memotret atau memvideokan tindakan kebaikan kita? Atau sebaliknya, kita yang merekam kebaikan orang lain, lalu menjadikannya konten di akun berplatform Karma? Secara teknis saja, ini tindakan yang membutuhkan beragam tindakan tambahan. Berbeda dengan kebaikan alami. Beri, ucapkan kata yang menghibur seperti, “Semoga pemberian ini bermanfaat” atau, “Jangan pernah ingat saya atas pemberian ini”, lalu kita pergi dari hadapan si penerima. Selesai. Tak ada tuntutan untuk mendokumentasikannya.
Setelah kupikir-pikir, keikhlasan cuma akan terdokumentasi di lubuk kalbu penerima dan orang yang tak sengaja menyaksikannya, bukan pemberi. Pemberi yang ikhlas cenderung melupakan kebaikan yang telah dilakukan. Insan seperti ini tak ‘kan marah jika orang yang menerima pemberiannya akan membalas dengan keburukan. Sebab sejak awal memang tak melandasi kebaikannya dengan embel-embel apapun selain kesenangan melihat orang berbahagia dan kesusahan melihat sesamanya berduka.
Aku tak hendak menghambat pertumbuhan aplikasi Karma. Tak punya daya aku untuk melakukannya. Aku cuma tak sepakat jika kebaikan kita kepada sesama menjadi tampak pamrih, (Ingat, tampak pamrih) ketika terekam kamera dengan niat akan menjadikannya konten di platform Karma.
Cuma mampu khawatir, motivasi mengisi konten di platform Karma akan menjadikan para penggunanya lebih parah dari politisi. Mungkin para politisi cuma bersikap pamrih untuk memperoleh jabatan dengan menebar dan mempublikasi kebaikan. Sedangkan pengguna platform Karma akan melakukan kepamrihan sepanjang mereka ingin mempublikasi kebaikan di akun media sosialnya secara terstruktur, masif dan sistematis pula.
Image Source: