Jalanan hadir sebagai etalase seni instalasi di ruang tatap. Ah… mungkin segala yang berada di ruang berdimensi 3 juga. Menampilkan segenap sampah dan kemuliaan peradaban. Mulai secarik bungkus permen yang pernah menjadi penyungkup benda pengisi kulum, sebelah kulit kacang tanah, rumput yang layu terlindas roda berulang kali, sederet bongkah batu yang terabai hingga dedaun kering berjejak bayu.
Sebuah keranjang anyaman bambu tergeletak di sisi kios pedagang buah, terpal biru yang mengatapi pedagang sayur, terpal oranye yang menjadi landasan rempah, sobekan koran yang terinjah berlumur debu dan lumpur. Semuanya bermuara sebagai jejak hidup manusia. Bermula dari dasar lumpur dan serpih bubur kayu, lembar lateks, bulir renik biji besi; lantas pengetahuan dan daya cipta menyentuhnya. Memberi arti, menyematkan guna dan memberi ruang untuk berperan.
Seteah ilmu dan karya menempatkan mereka pada ruang peran, manusia memanfaatkan gunanya hingga daya yang melekati luruh, pupus, pudar dan sirna. Imajinasi sungguh menempati tahta dalam ruang tata, tempat kita meletakkan tiap karya sesuai guna. Bumbu-Bumbu di sekitar dapur, perkakas tukang di gudang, selang air di dekat taman juga pakaian dalam lemari.
Lantas segalanya yang mengenal mula bersua akhir. Pergesekan dengan segala kegiatan menyusutkan nilai yang berpijak pada luruhnya kebaruan. Menjangkau makna usang. Tiap yang pernah baru akhirnya terbuang sebagai sampah bagi seseorang. Meski bagi insan lain ia masih memiliki daya guna. Terlindunglah ia dalam makna daur ulang.
Tak cuma yang berwujud. Waktupun menjadi usang dalam makna kemarin, masa lalu dan sejarah. Kemarin yang sebelumnya pernah menjadi esok yang ternanti, berhias rasa tak sabar. Kita menunggunya sebab sebuah janji telah terisi dalam waktu yang belum melintas hidup. Sebagai sebuah harapan yang belum pasti akan bersua. Ya. Hari ini kita menanti esok dengan seluruh yakin yang termiliki. Esok akan tiba, meski belum tentu kita masih ada di sana.
Ketika esok tiba, ia berubah nama menjadi kini. Terhayati menjadi penggal waktu tempat engkau dan aku memesan kopi di sehampar meja warung. Sepiring kudapan legit. Gelegar gelak yang muncul oleh sepantik nakal kelakar. Netra memotretnya, menata rapi dalam rak dalam benak untuk kita kenang di masa depan yang masih bernama ‘nanti’ sebab kita sedang tenggelam bergelimang ‘kini’.
Kenangan akan muncul begitu saja. Bersama sebuah alasan yang sukar kau jelaskan, tak mampu kuungkapkan. Sebab, kadang ia tak butuh alasan untuk kembali mengkobel-kobel ingatan. Menyajikan sepentang senyum di busur bibirmu yang ranumnya sungguh mengundang hasrat menggigit di sekitar geligiku. Ingin kuungkap apa yang bakal terjadi ketika pejal geligi bersua kenyal itu bibir.
Adakah perang? Atau justru gumul di antara kita. Ketika libat 34 saraf wajah dan 112 saraf postural kita dalam sentuh. Ketika tiap nanometerkubik epidermis kehilangan jarak, menjadikan antara sirna. Pertarungan yang menguji ketrampilan olahnapas di kelopak senyummu. Semesta tempat ketaklukanku bertambat menanti kepastian nasib. Otakku memilih sadar atas sensasi gelenyar di sela pagut kita yang tengah menjalin-pilin.
Sebentuk sengal yang selalu berupaya untuk kau sembunyikan sungguh menenangkanku. Setelah sebelum kelancangan yang ternyata kita inginkan itu, kupikir selembar tempeleng akan mendarat di pipi. Entah malu atau candu penyebab semburat di lereng pualam pipimu. Beserta sebentuk kerling, di antara tatap dan tunduk, seolah aku terlalu menyilaukan alamat tatapmu. Gelenyar itu masih menyisakan gema di kepala, bersama buncah yang menghunjam jejak. Sudah kupahatkan kenang ini hari di palung terdalam kenang, Mentariku.
Hingga sebentuk simponi meluncur dari bibirmu, “Aku menyambut sentuhmu bukan karena kalah, tapi karena sepakat! Kau harus bertanggungjawab atas efek kecanduan yang akan kuderita!” ujarmu sembari mengaitkan lengan ke tengkukku. Tak ada rem yang bisa kupijak untuk menghentikan laju hasrat. Aku memilih tenggelam dan menenggelamkan agar kita makin terampil mengarung gelombang samudra ini. Berlayar. “Mari bikin bangga nenek moyang kita yang katanya pelaut itu!" seruku dengan napas tersengal oleh buncah dentam di dada.