Antara Leher dan Bulu

Apa yang mengambang dalam benak ketika mendengar kata silet? Infotainmen? Feni Rose? Pisau cukur generasi kedua? Jika membayangkan pertanyaan terakhir, ada eloknya melanjutkan bacaan. Jika tidak, boleh juga melanjutkan bacaan. Bahkan, sesiapa yang tidak menjawab pertanyaan di ataspun boleh lanjut membaca. Sebab, membaca bukan soal menjawab atau tak menjawab pertanyaan semata. Kadangkala, membaca tak butuh alasan samasekali.

Silet menjadi bagian dari kehidupan para lelaki sejak King Camp Gillette menemukan alat cukur pengganti pisau generasi pertama. Biasanya berbentuk pisau bermata tajam 1 sisi. Temuannya menggeser alat cukur generasi pertama dan menjadi populer di kalangan lelaki atau perempuan yang terganggu dengan perihal perbuluan di bagian tubuh tertentu. Penemuan yang menegaskan keterlibatan kapital dalam gelisah akibat perbuluan, perbuluan nan menggelisahkan.

Tak ada yang berdarah ketika pisau mencukur bulu saja. Seperti alat lain, silet tak menimbulkan luka. Penggunanyalah yang mungkin ceroboh hingga mata pisau yang lebih tipis dari benang menggores lapisan epidermis dan beberapa ribu kapiler renik di baliknya. Kita menyebutnya luka saat leleh darah berlinang di permukaan kulit. Tak ada keterlibatan King Camp Gillette pada luka itu, seperti tiadanya keterlibatan William Wirt Winchester atas tiap kematian yang timbul dari tiap senapan bikinan pabriknya.

Senjata tak pernah salah sebab tak berdaya, meski manusia memperalatnya menjadi pencabut nyawa. Salah-Benar telah lekat termaktub untuk manusia. Sesiapa yang membidik, sesiapa yang menarik picu, sesiapa yang mengalamatkan gores dan berhasil mengalamatkan luka di tubuh orang lain, sesamanya. Senjata tak akan bisa dipersalahkan, selain menjadi bukti ketika seorang insan mengalamatkan gunanya untuk menyakiti. Meski senjata telah menjadi alat yang dimaktubkan untuk membunuh sejak alam khayal seorang penciptanya.

Kegelisahan itulah yang mendorong keluarga Dr Joseph-Ignace Guillotin mengajukan petisi untuk mengganti nama alat pancung Guillotine. Mereka tak nyaman akibat nama keluarga yang lekat dengan alat pencabut nyawa para terpidana mati. Terhitung sejak April 1792 hingga 10 September 1977. Petisi yang sungguh wajar, mengingat Dr Joseph-Ignace Guillotin bukanlah pembuatnya, ia cuma mengusulkan penggunaannya sebagai pemenggal leher para terpidana mati di Perancis. Sesungguhnya Dr Joseph-Ignace Guillotin tidak mendukung praktik hukuman mati.

Tobias Schmidt, insinyur Jerman yang lebih dikenal sebagai pembuat harpsichord, alat musik pendahulu piano; lelaki yang sesungguhnya merancang konstruksi Guillotine. Termasuk bentuk mata pisaunya yang miring di bagian bilah tajam. Namun, petisi keluarga Guillotine gagal. Nama Guillotin sudah terlalu akrab di kalangan masyarakat Perancis. Guillotine tidak cuma menjadi kata kerja dan kata benda di Perancis, melainkan sudah menjadi trend.

Kanak-Kanak Perancis di jaman itu sempat memperoleh permainan berbentuk Guillotine mini, para aristokrat menghiasi meja makan mereka dengan replika Guillotine untuk sekedar memotong roti. Guillotine menjadi bagian dari budaya pop di masa itu; karya sastra, kabaret, buku, judul lagu (yang jumlahnya tak terhitung), nama restoran bahkan upacara pemenggalan kepala terpidana mati yang mestinya khidmat menjelma menjadi tontonan publik.

Mulanya, Dr Joseph-Ignace Guillotin (tanpa huruf ‘e’) menyarankan penggunaan Guillotine sebagai alat pancung dalam hukuman mati untuk mengurangi rasa sakit terpidana, agar hukuman mati lebih manusiawi. Padahal, menurut riset medis di kemudian hari, kepala yang telah terpenggal masih hidup, sekurangnya 4 detik setelah berpisah dari leher.

Hari ini, 41 tahun silam. Hamida Djanoubi menjadi orang terakhir yang menerima hukuman mati dengan Guillotine, 12 hari sebelum usianya genap 28 tahun. Ia dituduh membunuh Élisabeth Bousquet, mantan pacarnya. Ah... Ada sebiji hal lagi; Nirvana merilis single Smells Like Teen Spirits!

Image Source:
Image1
Image2
Image3
Image4

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
Join the conversation now
Logo
Center