252 Hari

Sudah 252 hari berjalan. Menjelang hari ke 253 dan tentu saja sesudah hari ke-251. 2018 bukanlah tahun kabisat. Tentu saja. Sebab tak bulat dibagi 4. Waktu yang tepat untuk menengok ke belakang di caturwulan ketiga 2018, menoleh kita ke tanggal 31 Desember 2017 berdiri di tubir waktu. Ketika kebanyakan orang membangun resolusi, bersepakat dengan diri untuk membangun janji tentang apa yang mesti dicapai pada Tahun 2018.

Menghindar dari koran dan televisi bukanlah kata yang tepat untuk menggambarkan keadaanku. Sebab, akses internet membuat pengabaian terhadap gerak-gerik sosial, media sosial dan para aktivis media sosial menjadi sedikit mustahil. Ketika meme dan hoax menjadi lelucon harian yang singgah ke grup WhatsApp, yang berada dalam genggaman sekurangnya 18 jam sehari.

Belum lagi jagat baru bernama Steemit yang mesti kumanja dengan mengetik 500 kata; berupa alakadar ‘sampah-sampah putus’ dan ‘sampah putus-putus’. Tenggelam makin dalam di kelindan ketiadaan privacy oleh teknologi. Privacy menjadi sebiji benda yang mungkin paling berharga yang kita tumbalkan sebagai sesaji bertajuk telekomunikasi; saat engkau merasa ‘wow!’ berbincang dengan kawan di benua seberang dan sembari bersikap ‘halah!’ pada pribadi yang duduk semencangkung patung di seberang meja.

Begitulah. Sebagaimana tiap berhala yang membutuhkan tumbal, berhala telekomunikasi bukanlah pengecualian. Bahkan dalam tiap sujud maupun rukun penghambaan diri, engkau mengenangnya dalam resah. Tak ada ketenangan sebab segalanya seperti menuntut gegas yang sungguh bikin tergesa. Rasa terburu untuk tahu balasan pesan dari seseorang atau sekedar pembicaraan di grup yang kadang tak layak untuk disebut penting.

Resolusi 31 Desember 2017 saat tangan merentang, menjelang 2018 ternyata mendekati karam. 18 jam di tiap hari telah menggores ketundukan di hadapan sepetak benda berkilau. Ketika jempolmu sungguh berkuasa untuk mengakses informasi dari penjuru dunia, tiap insan dalam senarai hidup juga bentang indah di muka Bumi dalam daftar rencana liburan.

Begitu berkuasakah jempol? Tentu saja tidak. Kuasa modal cuma memberikan ilusi kuasa, ilusi gaul dan ilusi Hi-Tech saja. Sementara untuk masuk ke akses kuasa modal, cuma tersedia sebiji pilihan, asingkan diri dari gadget. Rayakan hidup bersama kawan, dengar cerita dari orang yang berbeda, laksanakan kegiatan yang membuat tubuh dan/atau pikiranmu terkejut.

Sebagai makhluk pembosan, sungguh aneh ketika candu telekomunikasi membuat tiap kita menjadi begitu ketagihan dengan hal yang itu-itu saja, orang yang itu-itu saja, topik pembicaraan yang itu-itu saja. Betapa kata “Udah ngopi” terucap makin kerap mendekati jumlah zikir dan nyaris menggeser ucapan Assalamu’alaikum, atau apa kabar. Ketika nyeri di pangkal belikat yang menyengat belulang sudah terabaikan oleh ‘rasa ingin tahu’ melampau batas.

Mayoritas generasi ini hingga entah berapa dekade mendatang akan mengalami pandemi nyeri tulang belakang, ngilu di bahu hingga wabah tak bertatap. Lalu, setiap hari kemerdekaan mengibarkan bendera, ikut panjat pinang, mengingat peristiwa 21 April, 17 Agustus, 30 September, 1 Oktober, 5 Oktober, 10 November, 26 Desember beserta sederet harap tentang perubahan ke arah yang lebih baik.

Ya. Harapan. Sebentuk penguat diri. Sewujud upaya maksimum dalam tindak minimum untuk menghibur diri agar tetap bisa memenuhi tuntutan hasrat dengan menumbalkan diri kepada kuasa yang bertahta di singgahsana para bandit penumpuk modal. Segurat harap akan menjadi hal yang tersisa ketika tak ada hal selainnya melekat di diri. Harapanlah yang menjadi sisa, (mengutip pernyataan Gulistan) “Ketika yang tersisa cuma iman!”

Image Source:

  1. Image1

  2. Image2

  3. Image3

  4. Image4

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
Join the conversation now
Logo
Center