Gagapnya Intelektual Muda Kita Membaca Realitas

image

Sumber

Kemarin @senja.jingga (Agus Fernanda) menulis. Masih di Steemit, sebuah super blog yang dalam beberapa bulan terakhir telah ditinggal sunyi oleh beberapa teman. Hanya sedikit yang betah, salah satunya, @bookrak (Reza Mustafa), yang kesetiaannya pada Steemit hanya dapat dikalahkan oleh kesetiaan Jalakam dalam novel Kura-kura Berjanggut yang memberhalai penaklukan Malaka, ia tak goyah, meski Sultan Nuruddin yang Anak Haram itu murka pada kesetiaannya yang terlalu itu.

Agus, ia adalah tipe anak muda yang hari ini dapat saja terlihat bagai seorang penulis yang seolah akan mendedikasikan seluruh hidupnya untuk mengukir aksara. Namun esok hari ia bisa tampil sebagai anak band, lusa telah menjadi aktivis lingkungan -dengan kemampuan ini jika hidup di era perang dingin Agus berpotensi menjadi salah satu agen ganda, seperti James Bond- atau belakangan ini ia menjadi calon anggota legislatif dari partai yang dirintis Wiranto, mantan Pangab, musuh rakyat Timor Leste, patriot paling membanggakan milik Indonesia Raya dan Menkopolhukamnya Jokowi, seorang besar yang pernah dicekal masuk ke AS oleh Departemen Luar Negeri AS pada medio 2004 karena dituduh bertanggung jawab atas berbagai kasus pelanggaran HAM berat. Singkatnya, Agus, tapi teman-teman dekat memanggilnya Bink, multitalent, kira-kira begitulah orang-orang entertain akan melakabinya jika sekiranya Bink suatu saat kelak ikut kontes Idol.

Kembali ke muqaddimah awal; Kemarin Agus Fernanda atau Bink menulis, dengan penuh resah dan sedikit gundah. Tertebak, tulisan itu akhirnya merupakan hasil perenungan atau bisa jadi pengalaman dia ketika bersinggungan langsung dengan kompetitornya sesama politisi yang kemudian membawanya menarik hipotesa bahwa betapa banyak politisi kita yang ternyata miskin ide, nihil gagasan dan fakir imaji. Agus mencak-mencak, dia marah, hingga menempel Politisi Asongan sebagai judul tulisannya.

Persoalannya kemudian adalah mengapa anak-anak muda berpendidikan macam Agus terlambat memahami realitas dan seperti gagap menyikapinya? Kenapa baru sekarang malah terkejut? Padahal sudah selama ini ia tumbuh dan dibesarkan dalam alam demokrasi dimana para politisinya memang asongan.

Kegagapan memahami realitas ini sebenarnya memang penyakit nyaris semua orang. Yang pertama ketika hampir kebanyakan kita hidup dalam Bingkai Pikiran; Agama, mazhab, ordo, sekte atau aliran kebijaksanaan bahkan pengetahuan. Bingkai Pikiran ini kelebihannya memang dapat membawa seseorang lebih fokus, terstruktur dan terukur. Namun juga patut untuk diwaspadai, sebab dapat membawamu dalam jebakan berpikir. Karena seluruh persoalan di luar bingkai pikiranmu akan sulit masuk. Jika Bingkai Pikiranmu sempit kesulitannya akan luar biasa. Ketika Bingkai Pikiranmu sempit maka pada tahapan inilah kau akan ganas pada soal-soal yang di luar Bingkai Pikiran. Seperti misalnya ketika seseorang bermazhab Fiqh Hanbali yang kebetulan pengetahuannya tentang lintas mazhab sempit, maka ia akan mudah mengkafirkan tatacara ibadah orang lain yang bermazhab Syafi'i yang kebetulan berbeda dengan tatacara ibadah yang selama ini ia anut. Maka disinilah pentingnya, seperti kata Derrida seseorang secara terus menerus perlu melakukan dekontruksi, mengembangkan bingkai pikirannya agar tidak terjebak dalam kesalahpahaman dalam membaca realitas.

Ketidaksanggupan kita memahami realitas secara menyeluruh kerap menghantarkan kesimpulan yang salah. Teman saya, begitu terkejut ketika mendengar saya berbicara memakai istilah Kiri. Selama ini ia mengira orang-orang Dayah sama sekali asing dengan teori-teori Marxisme. Dalam perkiraannya, orang-orang Dayah adalah pihak yang paling menyedihkan, sebab menurutnya selalu berkutat pada hal-hal yang tidak pernah menyentuh persoalan masyarakat proletar dan sibuk dengan permasalahan-permasalahan yang tidak lagi relevan dengan zaman.

(Bersambung...)

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
Join the conversation now
Logo
Center