Gali lubang tutup lubang adalah salah satu kutipan dari lagu yang sempat terkenal dahulu kala. Alkisah, gali lubang tutup lubang adalah kegiatan yang menceritakan tentang aktifitas pinjam uang lalu meminjam lagi untuk kebutuhan hidup dan membayar hutang pertama. Kemudian meminjam lagi dan lagi dan lagi dan lagi, lagi-lagi uang, lagi-lagi hutang.
Gali Lubang Tutup Lubang
Memang benar bahwa perkara meminjam uang akan membuatmu ketagihan. Sebenarnya engga benar dan engga salah juga sih. Meminjam uang bukan membuatmu merasa ketagihan. Hanya saja, perhitungan penghasilan yang tidak pas dengan pengeluaran membuat kita terpaksa mencari pemasukan lain dengan cata mengupayakan uang segar atau fress money. Jika pinjaman tersebut bisa dibayar dengan akumulasi perhitungan pendapatan dan pemaksaan untuk mengecilkan pengeluaran sehingga hidup kembali normal. Maka gali lubang bisa langsung kita tutupi tanpa menggali lubang yang lain.
Akan tetapi, masalah gali lubang tutup lubang akan menjadi hantu yang sangat menakutkan. Hal ini terjadi pada setiap orang yang tidak memiliki penghasilan. Tetapi dia nekat menggalu lubang. Sehingga, kesulitan menutup lubang. Jadi wajar saja, jika penggali lubang harus menggali lubang yang lain untuk menutup lubang awal. Bahkan, ada kalanya, untuk menutup satu lubang membutuhkan penggalian di tiga lubang atau lebih.
Akibat dari hutang satu yang dibayar dengan tiga atau lebih pinjaman lagi adalah perluasan hutang dan menambah beban hutang. Parahnya, upaya menutupi hutang akan mengganggu kreatifitas dan aktifitas hidup. Dengan demikian, galu lubang dan menutup lubang tetapi menggali dengan banyak lubang lah yang membuat seorang berhutang tidak bisa melepaskan diri dari jeratan hutang-hutangnya.
Terpaksa Menggali Lubang
Jika ada yang menyalahkan seseorang menggali lubang utuk mendapatkan hutang. Anda jangan dahulu membuat satu penghukuman. Jangan cepat-cepat menjatuhkan vonis tukang hutang. Bahkan jangan terlalu cepat menghukumnya dengan sebutan pencari suaka atau pragmatis. Jangan kawan, sekali lagi jangan.
Kita harus membaca ulang perjalanan si tukang gali lubang. Apakah dia memang menggali untuk sesuatu yang tidak penting. Atau mungkin kondisi yang memaksanya untuk menggali lubang?
Sebagai contoh, ada sebuah kisah yang mungkin dialami oleh berbagai orang. Misalnya ada yang beraktifitas di sebuah organisasi non profit. Istilah ini berarti, dia melakukan aktifitas tanpa penghasilan. Seandainya ada uang, itupun bukan tetap, melainkan uang yang entah kapan turun dan tidak jelas jumlahnya. Bahkan, uang itu belum tentu memenuhi seluruh kebutuhan paling pokoknya selama satu bulan.
Muncul pertanyaan, bagaimana dia bisa hidup dalam satu bulan? Apalagi tidak ada penghasilan? Bagaimana dia bisa berpindah dari satu tempat ke tempat lain? Bagaimana dia bisa makan? Bagaimana dia beli pulsa? Bagaimana dia bayat kuliah? Bagaimana dia bayar kosan? Entah berapa item keuangan yang harus disebutkan satu persatu.
Ketika si organisatoris harus memilih pekerjaan logis atau lebih disebut realitis tapi bukan pragmatis. Tidak sepenuhnya dia menjual diri untuk beberapa lembar rupiah. Bukan itu. Ada kemungkinan dia memang sudah tidak bisa lagi menyabarkan diri, tubuhnya, atau beban tambahan yang juga tertumpang di pundak. Ada banyak organisatoris yang harus memilih antara realis dan idealis. Salah satunya adalah kebutuhan hidup. Walaupun itu pas-pasan, pas ada pas hilang, minimal ada potensi ada, dari pada tidak ada tapi wajib ada.
Kadang-kadang, ada tawaran yang datang. Dengan segenap kepercayaan pada senior. Dia juga meminta arahan. Namun, senior mengarahkan untuk sabar dengan janji akan ada jalan keluar. Meskipun, senior dan junior itu sama-sama tahu bahwa tidak ada jalan keluar. Karena memang situasi dan kondisi telah membuktikan bahwa tiada yang bisa diadakan. Sialnya, junior itu merasa bahwa dengan menjadi organisatoris, semua akan selesai. Tapi sayang, nanti malam dia makan apa? Esok dia jalan dengan apa? Bagaimana dengan tanggungjawabnya pada yang lain? Atau bagaimana dia bisa ini dan itu?
Memang benar, bahwa kreatifitas seseorang bisa menutupi yang tiada. Ada kalanya, gali lubang kecil agar muda dalam menutupi lubang itu. Namun, ketika hidup menjadi sulit. Saat terpaksa menggali lubang. Bukan cuma satu, tapi beberapa lubang bersamaan. Kreatifitas hilang, semangat untuk yang lain sirna. Sehingga beberapa lubang mematikan aktifitasnya. Parahnya, tiada tempat meminta bantuan. Jika meminta pertolongan, selalu ada alasan untuk berkilah. Sedihnya, marah, emosi dan cacian keluar untuk menhalalkan perbuatan tidak mau membantu.
Lalu, si anak yang terlanjur menggali beberapa lubang sekaligus. Harus mencari penggalian lagi untuk menutup lubang. Memang ada yang membantu. Tetapi bantuan itu hanya sebatas menyelesaikan apa yang biasa jadi masalah bulanan. Itu pun tidak penuh. Sedangkan lubang yang sudah tergali meruntuhkan semua hal. Integritas dan kredibilitas pun tercederai karena mulutnya tertutup akibat dari lubang-lubang yang minta di tutup.
Nah, saat peluang datang kembali, pilihan pun lagi-lagi memaksanya menangis dalam hati. Apakah mau di coba atau dibiarkan saja. Kadang kala, ada ketakukan, mencoba mengambil peluang. Tapi takut senior marah yang mengakibatkan peluang itu sirna sebelum di coba. Atau bahkan, suara-suara sinis yang menjatuhkan bahkan menenggelamkan hadir untuk menutup rapat semua peluang. Apakah ini adil? Kenapa tidak saudara kandungnya saja yang menjalani semua ini? Kenapa tidak junior kontan dan langsung saja yang mengambil semua peran.
Saat peluang sirna, penggali lubang dipaksa untuk menutup rapat semua kelemahannya. Tidak boleh mengeluh karena itu cengeng. Jangan curhat di media sosial. Karena itu bukan prilaku aktifis. Jangan minta ke orang lain selama ada senior. Namun, penggali lubang tetap menambah lubang galiannya. Setiap bulan bertambah dan terus bertambah.
Di lain sisi, ketidakadilan sosial terus berlanjut. Ada pemisahan kelas dan tingkatan sosial. Atas nama dan latar belakang tertentu. Penggali lubang tidak mungkin untuk menerima satu peluang apapun. Sialnya, bantuan yang datang dari orang diluar komunitasnya malah menjadi masalah baru. Masalah yang membuat si penggali lubang terpaksa menerima sumpah serapah dan kehilangan kesempatan bekerja. Nasib ya nasib.
Sekarang, penggali lubang sudah menyiapkan cangkus. Dalam waktu dekat. Dia akan menggali lubang baru untuk menutup lubang lama. Kali ini, penggali akan menggali beberapa lubang sekaligus. Tidak ada ampun, ajang bunuh diri dalam lilitan hutan sudah tidak menakutkannya. Bukan karena pragmatis. Bukan karena tidak sanggup berjuang. Tapi mulut butuh makan, badan butuh tempat berteduh dan ada tanggung jawab lain yang perlu diselesaikan dengan uang bukan janji.