Entah kenapa azan subuh kali ini terasa lebih syahdu. Terutama setelah membaca pesan singkat berbunyi “jaga diri baik-baik, tetap sehat selalu.”
Sebuah pesan yang seharusnya biasa, tidak perlu bermakna apa-apa. Tapi kurasa kau mengirimkannya sepenuh hati hingga menggetarkan perasaan.
Kau sendiri di sana, apa kabar? Aku masih berutang buku padamu. Tepatnya kau sengaja membuatku berutang mengembalikan buku penulis Latin itu padamu. Walau laranganmu agar aku tak mengirimkannya terasa agak konyol, tapi perlu kupahami itu satu-satunya alasan agar kita bisa bertemu lagi. Oh tidak, rasa-rasanya alasanmu bukan cuma satu. Kau selalu punya bermacam jurus untuk selalu mencariku.
Masih ingat ‘kan sebuah siang di antara gelas teh sereh dan kopi itu? Kita berdua saling mengabaikan ponsel masing-masing dan memilih meredakan degup jantung yang terlalu cepat detaknya. Tak ada kisah lalu yang luput disembunyikan, sejak seseorang tampak cemburu melihatku menyambut kedatanganmu di pelataran gedung pertemuan lokakarya.
“Rambutmu semakin panjang, aku suka melihatmu secantik ini.”
Ah, lelaki. Rayuanmu betapa standar tapi mengapa hatiku berdebar-debar?
Lalu terkuaklah beberapa cerita, termasuk dia yang cemburu itu.
Kaukeluhkan waktu sesingkat kopi yang lekas habis. Tapi sesal, katamu, tidak perlu mampir, sebab dengan cara seperti inilah kita akhirnya bisa sama-sama berani mengucap rindu.
Aku tertawa sejenak. Menjawabmu dengan senyum hambar,
“Jangan khawatir, kutahu kapan harus menarik ulur perasaan. Juga mengontrol tombol untuk mematikan.”
Jumawa sekali, bukan? Tapi aku sedang melindungi diri sendiri dari luka hati, dari kisah cinta yang tak pernah setia diam berlama-lama. Pasti kau mengerti.
Lagipula meskipun ingin, kau takkan pernah berani melangkah lebih jauh dari sekadar mengirimkan pelukan perpisahan, bukan? Sekadar membayangkan, tepatnya. Kau menjagaku dengan tidak membuat tugu apa pun dalam kenangan.
Adzan subuh telah setengah jam lalu berkumandang. Ingatanku masih bertahan memelihara bingkai tubuhmu yang sarungan, sedang salat di musala. Langkahku sempat terhenti sejenak ketika itu, sebelum kuputuskan tetap masuk sambil berharap kau diam lebih lama di sana dan menjadi imamku. Setidaknya sekali saja, walau tak bisa menjadi selamanya.
Seharusnya kubalas pesanmu yang dikirim tengah malam tadi, cukup sebuah ucapan terima kasih, atau emotikon senyum. Tapi...
Bersambung