Anda penyuka kerupuk? Jika iya, anda harus mencicipi salah satu kerupuk khas Pidie - Aceh. Kami menyebutnya kerupuk muling. Kerupuk yang terbuat dari biji melinjo (mulieng) yang di proses dengan metode manual tanpa teknologi dan variasi apapun. Artinya, kerupuk melinjo ini masih benar-benar alami, tanpa pengawet bahkan pewarna makanan.
Rasanya sangat gurih dan nikmat. Siapapun tidak akan pernah bosan dengan cemilan khas original Aceh ini. Saya sendiri sangat menyukainya, ketika makan, meski tanpa ikan nasi akan lahap jika ada cemilan ini didalam piring. Saya kira tidak ada yang tidak mengenal cemilan yang juga disebut emping melinjo ini. Meski ada juga diproduksi dibeberapa tempat di Aceh, namun notabennya emping ini sangat banyak terdapat di Pidie.
Cukup sering kerupuk khas kabupaten Pidie ini menjadi buah tangan setiap tamu atau saudara yang bersilaturrahmi ke tempat saudara mereka di kabupaten Pidie. Bahkan setiap acara kelaurga atau sekedar pesta resepsi pernikahan, emping melinjo cukup sering berada ditengah-tengah hidangan sebagai pelengkap menu makan untuk para tamu.
Di daerah tempat saya tinggal, tepatnya di Glumpang Baro, Kabupaten Pidie, hampir setiap rumah terdapat pengrajin kerupuk mulieng atau emping melinjo ini. Inilah kegiatan para perempuan non-pegawai negeri dari pagi hingga siang hari bahkan ada pula yang melanjutkan sampai malam hari. Biasanya mereka mampu menyelesaikan 5-6 kilogram melinjo perhari.
Situasi ini yang membuat sebagian para pemerintahan dan aparatur desa berani mengalokasi dana desa untuk pengembangan usaha rumahan atau pemberdayaan masyarakat desa melalui usaha proses pembuatan emping melinjo.
Harga perkilogram kerupuk melinjo ini dapat mencapai Rp, 50.000 sampai Rp, 65.000 tergantung kualitas dan ukuran kerupuk. Jika yang berukuran standar umumnya harga lebih murah dari kerupuk yang seukuran telapak tangan. Untuk ukuran standar, perkerupuk biasanya dibuat dengan dua biji melinjo. Sedangkan untuk ukuran besar biasanya terdapat 5 hingga 10 melinjo.
Ibu saya adalah seorang pengrajin emping melinjo. Hanya seorang (dapat dikatakan buruh) karena ibu bukan pengrajin yang memproduksi bahan baku dan menjualnya sendiri, tapi ibu lebih cenderung menerima upah dari proses pembuatan dari salah satu tauke yang menyediakan bahan baku yaitu berupa melinjo. Biaya untuk pengupah biasanya berkisar Rp 10.000 hingga Rp 15.000 kilogram. Dan dapat berubah sesuai kualitas melinjo yang disediakan.
Sebagai seorang anak dari pengrajin emping, tentu saya sudah sangat paham bagaimana kerupuk yang telah dikenal sejak jaman ini di proses. Tahapan pertamanya adalah belinjo di gongseng terlebih dahulu agar masak dan kemudian dikupas kulitnya setelah itu dipalu diatas kayu, dengan palu khusus, besar, dengan berat sampai 1 kg.
Setelah itu di angkat dan dijemur sampai kerupuk itu benar-benar kering. Mudah memang, tapi jika belum terbiasa, anda akan tertatih jika melakukannya, dan dijamin, dalam satu hari satu kilogram melinjo saja anda tidak akan mampu menyelesaikannya.
ENGLISH
Are you a lover of crackers? If so, you should taste one of the typical Pidie crackers - Aceh. We call them crackers mulieng. Crackers are made from melinjo seed (mulieng) which is processed by manual method without technology and any variation. That is, cracker melinjo still completely natural, without preservatives and even food coloring.
It tastes very good and delicious. Anyone will never get bored with this native Acehnese snack. I personally love it, while eating, though without rice fish will voracious if there is this snack in the dish. I think nobody knows there are no snacks that are also called crackers melinjo this. Although there are also produced in some places in Aceh, but generally this cracker is very much in Pidie.
Quite often the typical crackers Pidie district made as a souvenir of each guest or relatives who bersilaturrahmi their relatives in Pidie district. Even every family event or just a wedding reception party, emping melinjo quite often is in the middle of the dish as a complement to the dining menu for the guests.
In the area where I live, precisely in Glumpang Baro, Kabupaten Pidie, almost every house there are craftsmen mulieng crackers or emping melinjo this. This is a non-governmental community activity from morning to noon and some even continue into the evening. Usually they can finish 5-6 kilograms of melinjo per day.
This situation has made some government and village officials dare to allocate village funds for the development of home-based business or empowerment of village communities through the process of making melinjo crackers.
Price perkilogram melinjo cracker this can reach Rp. 50,000 to Rp. 65,000 depending on the quality and size of the crackers. If the standard size is generally cheaper price than the palm-sized crackers. For standard size, plants are usually made with two seeds melinjo. As for the large size there are usually 5 to 10 melinjo.
My mother is a craftsman of melinjo crackers. Only one (not to say the laborer) because the mother is not a craftsman who produces raw materials for the process of making crackers, but the mother is more likely to receive wages from the process of making one of the owners who provide raw materials in the form of melinjo. The fee for wages usually ranges from Rp 10,000 to Rp 15,000 kilogram. And can change according to the quality of melinjo provided.
As a cracker craftsman boy, of course I have been very familiar with how well-known crackers have been in the process. The first stage is belinjo in gongseng until the meat is completely ripe and then peeled. After that hammered in the wood, with big hammer, heavy, heavy, weight up to 1 kg.
After that in the lift and dry until completely dry. It's easy, but if you're not used to it, you'll have trouble if you do it, and guaranteed, in one day a kilogram of melinjo alone you will not be able to solve it.