SENJA

image
Jika ada yang bertanya, hal apakah yang aku suka ketika petang datang, ketika senja ada di ujung sana. Duduk bersama ayah, itu jawabku. Ayah, selalu punya cerita tentang hidup, ayah selalu punya sejuta nasihat menyemangati perjalananku, menguatkan jiwaku yang terkadang mengapung tiada pasti dalam masalah duniawi. Dan ayah? Adalah malaikatku yang punya segudang cerita tentang alam dan manusia. Tentang dunia dan sampah-sampahnya. Seperti sore ini, ayah kembali duduk denganku di bawah pohon akasia, menikmati senja. Ayah adalah penggila senja. Ayah selalu bilang, "Jadilah seperti senja, walaupun hadirnya cuma sesaat, tapi selalu dinanti banyak orang", itu katanya. Dan dulu aku belum paham arti dari kata-kata ayah. Karena waktu itu aku masih berumur sebelas.

"Yah, apakah ibu adalah cinta pertama ayah?"

"Bukan," jawab ayah, singkat.

"Lalu, apakah ayah pernah sakit hati? Kecewa, melukai atau dilukai?"

"Pernah. Kenapa?"

"Yah, kenapa lelaki suka melukai hati wanita?"

"Bukan karena kenapa, Nak. Bukan hanya lelaki, tapi melukai, dilukai, mengecewakan dan kecewa adalah lumrah bagi manusia. Pun dengan ayah dan kamu."

"Tapi, kebanyakan hanya wanita yang jadi korban, Yah."

"Karena wanita lebih percaya dengan telinga, sedangkan lelaki lebih percaya dengan logika. Misalnya begini, jika ayah membisikkan janji manis pada ibu, apakah menurutmu ibu percaya?"

"Tentu saja, Yah. Karena ibu cinta ayah, dan ayah cinta ibu."

"Benar. Dan ketika ayah ingkar akan janji ayah, apakah ibumu akan kecewa?"

"Pasti," jawabku singkat.

"Dan itu bukan karena lelaki saja yang salah, tapi wanita yang mudah percaya dengan janji manis lelaki. Karena pada dasarnya, lelaki paham jika wanita menyukai janji, dan tergantung wanitanya juga, seharusnya tidak mudah mempercayai janji."

"Tapi, Yah. Kalau kita sudah berusaha jadi yang terbaik, tapi tidak pernah dihargai? Itu kenapa?"

"Itu tandanya dia bukan terbaik."

"Kalau terlanjur cinta?"

Ayah tidak menjawab, justru diam mematung sambil memandang ke depan. Ke tempat di mana senja telah berpamitan. Ayah menghela napas panjang dan menoleh padaku. Cukup lama ia memandangku, satu menit, dua menit sampai empat menit. Mungkin.

"Nak, tahukah kamu kata terlanjur itu sebenarnya kata pengungkapan penyesalan secara halus. Terlanjur dan di tempat? Itu adalah kebodohan yang dinikmati. Dan hanya dilakukan oleh orang-orang bodoh juga."

"Jadi menurut ayah? Apakah aku bodoh jika bertahan pada orang yang selalu membuat aku menangis?"

"Ya, tentu saja. Kamu bodoh. Tapi ayah tidak bisa menyalahkanmu, karena sejatinya cinta, tidak mengenal apa itu bodoh, apa itu cerdas. Cinta itu tanpa sebab, tapi selalu punya banyak akibat. Dan yang kamu lakukan adalah demi cinta. Percayalah, tidak akan ada yang sia-sia selama kamu ikhlas."

"Apakah aku boleh menangis, Yah?" tanyaku pelan, sambil menundukkan kepala.

Hening.

"Menangislah, Nak. Bukankah ibumu pernah bilang. Menangislah, jika membuatmu tenang. Karena terkadang bibir dan suara tak cukup menggambarkan perasaan, menangislah. Tapi ingat, hargai setiap tetes airmatamu itu."

Aku kembali menundukkan kepala. Tenggelam, larut dalam airmata. Apakah benar aku terlanjur mencintai? Dalam arti menyesal mencintai? Entahlah.

Berbincang dengan ayah, kadang mampu mengurangi rasa pedihku dalam menghadapi terjalnya jalan yang aku tapaki. Nasihat ayah laksana cambuk dalam langkahku. Aku dan ayah adalah penikmat senja. Di mana senja itu akan berpamitan? Di situ pasti ada aku dan ayah duduk bersebelahan, menikmati secangkir kopi pahit dan memandang senja yang hadir hanya sesaat. Menceritakan apapun yang ayah rasa. Dan aku akan selalu bertanya pada ayah tentang arti perjalanan. Hingga alam menjadi gelap dan petang. Aku dan ayah akan tetap duduk terdiam, memandang langit dengan sisa-sisa jejak sang senja. Sementara ibu? Berteriak dan memanggil kami untuk pulang.
image

"Ayo, Nak. Kita pulang. Jangan risau memikirkan sebuah perjalanan. Di manapun kakimu berpijak, percayalah di sana ada kebahagian. Ada tangis dan tawa. Ada suka dan duka. Jangan cengeng dan berharap bahagia saja. Karena kita hidup di dunia nyata, bukan dunia dongeng. Yang di mana tidak semua kisah berakhir bahagia. Ayo berdirilah. Kita pulang."

Dengan rasa malas, aku berdiri. Dan pulang. Bersama ayah, terkadang gelapnya perjalananku kembali terang. Seterang masa depan pada tiap insan yang punya impian. Karena pada dasarnya hidup ini adalah sebuah perjalanan. Suka dan duka dalam perjalanan adalah fitrah bagi setiap insan. Karena itu adalah bukti kita masih bernyawa, punya hati punya rasa. Dan tergantung kita, mau dinikmati dengan cara apa perjalanan ini.
image

@jassy

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
Join the conversation now
Logo
Center