A ku kembali menziarahimu setelah mimpi seribu kali datang menyambar, jiwaku fana dari mulut para penyair yang mabuk arak semalam, semuanya telah menjelma jadi perias kata-kata dan lupa jalan pulang.
Oh Aku. Aku kini jadi kualat, sajak apa lagi yang mengamuk setelah air mata tumpah di pesta kehidupan dengan gaya palsu ini? Seliar apa lagi perjalanan mencari rimbun pohon di tengah gurun jiwa ini? Ributlah menuju jalan keharibaannya.
Seurai tali itu putus antara pengemis dan penyelamat, kini aku makin tahu yang kaya katanya sukur, yang miskin katanya kufur. Lalu mampukah kata ini melesat melebihi resah yang bergelora ini? Apakah ada lawan bila menjadi kawan adalah pilihan terakhir.
Pilihan terakhir memang menjadi sia-sia, jalan panjang dan dinding tinggi membuat kita makin gemar berlari menuju dada yang masih sunyi, sesunyi kau yang mengerti bahwa kehidupan makin keliru.
Jangan kau bawa kata ini di meja kuasa, karna kata ini bukanlah kata kebencian, sangsilah air mata ini, kini dan nanti, kata ini akan menjelaskan dirinya sendiri di mimbar paling tertinggi.
Aku, kau dan kita akan menghidupkan api yang padam dihujani air mata kebodohan.
Perpusnas, Jakarta 2018