Penerapan Teknologi Blockchain Dalam Sistem Pemilu, Mungkinkah?

Jelang Pilkada gubernur Aceh pada tahun 2017 silam, salah satu calon gubernur berusaha untuk mendesak penyelenggara pemilu agar menerbitkan peraturan yang mengakomodir para pemilik hak pilih yang bermukim di luar Aceh agar dapat menggunakan hak pilihnya. Calon Gubernur tersebut melihat potensi hilangnya hak pilih warga Aceh yang selama ini bermukim diluar daerah. Meskipun dikemudian hari rencana ini gagal oleh karena beberapa alasan, namun setidaknya hal tersebut telah membuka wacana pemenuhan hak untuk ikut serta dalam pemilihan umum bagi mereka yang tinggal diluar daerah.

Pada Pilkada bupati bulan mei lalu, saya dan beberapa teman-teman turut serta mendampingi beberapa calon bupati yang bertarung di Pilkada serentak 2018. Salah satu anggota tim pemenangan kandidat yang kami dampingi sempat berencana menggelontorkan sejumlah dana untuk memulangkan para mahasiswa yang kuliah di Banda Aceh. Hal tersebut dilakukan agar para mahasiswa ini dapat ikut menggunakan hak suara pada hari pemilihan. Setelah dihitung-hitung, perkiraan dana yang dibutuhkan untuk memulangkan para mahasiswa tersebut mencapai angka puluhan juta rupiah.

Kami tentu bisa saja menyepakati gagasan tersebut. Namun atas dasar objektifitas dan profesionalisme sebagai konsultan pemenangan, kami pada akhirnya menolak untuk menyetujuinya. Sebab menurut kalkulasi kami, hal itu hanya pemborosan anggaran belaka. Belum tentu mereka yang ‘dibawa pulang’ itu akan menguntungkan secara politik bagi kandidat yang kami dukung. Bisa saja malah menjadi bumerang jika pada kenyataannya mereka justru memilih kandidat lawan pada hari pemilihan.

Jumlah pemilih yang berdomisili diluar daerah pemilihan menjadi alasan mengapa dalam banyak kasus para kandidat peserta pemilu memilih untuk menggelontorkan dana demi memulangkan mereka. Para kandidat berusaha – bagaimanapun caranya – untuk mendongkrak jumlah perolehan suaranya pada hari pemilihan. Hal itu membuat biaya politik kian membengkak ditengah persepsi publik tentang mahalnya biaya berdemokrasi di Indonesia. Sebuah keadaan yang diklaim menjadi penyebab maraknya praktik korupsi demi ‘mengembalikan modal’ yang dihabiskan pada masa kampanye.

Masalah partisipasi politik pemilik suara yang bermukim diluar daerah ini merupakan persoalan klasik dalam sistem pemilihan umum di Indonesia. Sebenarnya telah ada aturan yang mengatur agar mereka ini tetap bisa menggunakan hak pilihnya dalam pemilu. Dalam Peraturan KPU no 6 tahun 2013 disebutkan bahwa pemilih yang berdomisili diluar daerah pemilihan (dapil) dapat melapor ke KPU setempat untuk kemudian diberikan formulir A5. Namun masalahnya adalah, pemilih tersebut harus memilih kandidat yang berasal dari dapil setempat, bukan dari dapil sesuai asal si pemilik suara.

Contohnya Ridwan yang sesuai identitas beralamat di Kecamatan Banda Raya kota Banda Aceh dan sekarang sedang melanjutkan pendidikan di Kota Bandung. Ia kini bermukim di kelurahan Kebon Pisang Kecamatan Sumur Bandung. Maka setelah mengurus formulir A5 Ridwan dapat memilih calon DPRD Kota Bandung dari dapil Bandung 2, DPRD Jawa Barat dapil Jabar 1, DPR RI dapil Jabar 1 dan DPD dapil Jabar. Padahal sesuai KTP, Ridwan harus memilih calon anggota DPRK Kota Banda Aceh dapil Banda Aceh 4, DPRA dapil Aceh 1, DPR RI dapil Aceh 1, dan DPD dapil Aceh. Hal yang sama juga berlaku untuk Pilkada Gubernur dan Bupati/Walikota. Itu berarti Ridwan kehilangan hak untuk menentukan nasib daerah asalnya meski secara teknis ia tidak kehilangan hak memilih.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, juga meminimalisir tingkat kecurangan dalam tahapan pemungutan suara, KPU tengah mengembangkan sistem pemilihan berbasis komputer. Sistem pemilihan itu disebut dengan e-voting ¬dan telah diuji coba pada beberapa pemilihan kepala desa. Sistem e-voting dikembangkan demi transparansi dan akuntabilitas pemilu di Indonesia. Namun pertanyaan yang kemudian muncul adalah seberapa aman sistem e-voting dari serangan siber?

Menurut penjelasan BPPT seperti dilansir dari laman detik.com, agar dalam proses pemilihan bebas dari gangguan serangan siber maka selama proses pemungutan suara sistem e-voting ¬harus dalam keadaan offline. Sistem tersebut baru dalam kondisi on-line ketika pemungutan suara selesai dilakukan untuk mengirimkan hasil pemilihan ke pusat data. Meski begitu, bukan berarti cara tersebut benar-benar aman dari gangguan para pihak yang tidak bertanggung jawab. Sebab seperti pengakuan Ketua KPU Arief Budiman, nyaris setiap detik serangan demi serangan menyasar website KPU pada perhelatan Pilkada serentak 2018 lalu. Bahkan polisi telah mengamankan seorang hacker berinisial DW (16) yang berhasil membobol situs milik penyelenggara pemilu di Indonesia tersebut.

Blockchain adalah kunci?

Setelah sempat beberapa saat terkesan abai, perkembangan teknologi blockchain yang semakin hari kian terasa gaungnya ini pada akhirnya menarik perhatian pemerintah. Teknologi ini disebut-sebut dapat menjadi solusi dari berbagai kekurangan sistem jaringan internet yang selama ini kita gunakan. Teknologi blockchain yang merupakan penyempurnaan dari sistem jaringan intranet ini mulai dipelajari untuk kemudian diterapkan di Indonesia. Salah satunya adalah dengan menggelar seminar penerapan teknologi blockchain untuk peningkatan kualitas perguruan tinggi dan peningkatan ekonomi yang akan di selenggarakan pada 1 November mendatang.

Acara yang diselenggarakan oleh Asosiasi Perusahaan dan Konsultan Telematika Indonesia (Aspekti) di hotel Balairung Jakarta tersebut akan menghadirkan @starkerz dan @anarcotech sebagai pembicara. Dan rencananya akan dibuka langsung oleh Menristekdikti Muhammad Nasir. Hal ini membuktikan bahwa pemerintah tidak lagi menutup mata akan kehadiran teknologi tersebut. Dengan penerapan teknologi Blockchain, diharapkan mampu mengatasi berbagai permasalahan di bidang ekonomi yang selama ini dihadapi para pelaku usaha. Pula sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia.

Jika berhasil diterapkan pada bidang ekonomi dan pendidikan, bisa jadi penerapan teknologi Blockchain ini suatu hari akan merambah ke bidang politik. Misalnya dengan diterapkan pada sistem e-voting yang saat ini dikembangkan oleh pemerintah. Mengingat kecepatan serta keamanan transaksi data yang ditawarkan oleh teknologi Blockchain maka bukan tidak mungkin kedepannya sistem e-voting akan berjalan diatas sistem blockchain tersebut.

Memang membutuhkan waktu yang tidak sedikit untuk mempelajari cara kerja sistem ini. Terutama pengaplikasiannya dalam sistem pemilu di Indonesia. Namun jika tidak dimulai dari sekarang maka Indonesia akan terus tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Butuh kerjasama dan perhatian berbagai pihak hingga teknologi ini benar-benar bisa diterapkan dalam berbagai sektor sebagaimana yang kita harapkan.

Jika sistem e-voting yang berjalan di atas sistem blockchain ini nantinya benar-benar bisa diterapkan, maka hal tersebut otomatis akan memberikan dampak baik kepada sistem demokrasi di Indonesia. Selain memangkas ‘biaya politik’, penerapan sistem blockchain juga dapat menjamin terpenuhinya hak kita sebagai warga negara dalam hal ikut serta menentukan arah pembangunan daerah melalui pemilihan umum. Dengan begitu, tak masalah dimana TPS tempat kita memberikan suara, kita dapat memilih calon pemimpin sesuai KTP yang kita pegang. Bahkan bisa jadi sistem Blockchain ini adalah kunci terwujudnya penyelenggaran pemilu yang sesuai dengan asas Luber-Jurdil sebagaimana mestinya.

Bandung, 26 Oktober 2018
Salam Manis

@senja.jingga

Img Source: 1,2

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
Join the conversation now
Logo
Center