RISALAH BELAJAR TERTAWA

image

Tulisan ini dari seorang guru saya di Makassar, pekerja teater dan penulis pujaan ( Yudhistira Sukatanya)

“Kita dapat tertawa oleh sebab berbagai hal, ketika bergembira, juga saat kita tahu ada orang lain tertimpa petaka” papar Is Hakim- perupa yang teaterawan membuka sesi diskusi usai pertunjukan “ Belajar Tertawa” Sabtu 8 September 2018 di Teater Arena Gedung Kesenian Sociteit de Harmonie- Makassar.

Roy Julian dan Mamexandria dua aktor Kantor Teater –Jakarta baru saja menuntaskan pertunjukan mereka yang berdurasi lebih kurang 60 menit. Belajar Tertawa berbagi tentang cara lain memahami keburukan, kesakitan dan penderitaan. Tentang menggeser posisi sudut pandang yang lebih baik atas segala kekacauan hidup yang dialami manusia, sehingga karena itu, harapan tentang hidup dan hari esok yang lebih baik diharapkan muncul sebagai enerji dan daya hidup yang menyala di dalam setiap diri. Belajar Tertawa adalah tentang upaya menemukan kegembiraan gelap di dalam segala kepedihan yang terang benderang di dalam diri.
image

Dalam booklet yang dibagikan ada pertanyaan; Apakah sebuah pertunjukan teater bisa terjadi tanpa sutradara? Bila demikian, maka bagaimanakah pola kerja keaktoran yang berlaku di dalamnya ketika tidak ada garis bloking yang mesti disepakati? Ketika tidak ada rancangan set yang mesti dibuat, dan ketika tak ada apa pun dalam pertunjukan itu kecuali aktor dengan teks dan ide pertunjukan dalam tubuhnya? Ketika spontanitas dan kemampuan menangkap momen kini dan di sini menjadi kunci bagi penciptaan peristiwa di dalamnya.

Demikianlah, konsep pertunjukan yang ditawarkan malam itu. Membuka ruang untuk berbagi dengan penonton sebagai upaya membangun pemahaman atas tafsir masing-masing. Karena diyakini, setiap subjek yang terlibat dalam interelasi objek pertunjukan tentu mempunyai sudut pandang sendiri-sendiri, berdasarkan kesadaran masing-masing yang berasal dari persepsi cara memandang masalah yang ditawarkan. Dan ruang terbuka itu menjadi wilayah kemungkinan, apa mau menerima apa adanya, mengkritisinya, atau menolaknya. Semua serba terbuka dalam wacana.

Dapat dipahami, ada dua sisi dalam kehidupan manusia atas apa yang dilakononinya. Pertama, tunduk pada fitrah dan mematuhinya saja; Kedua, karena manusia dikaruniai akal, daya untuk memperhatikan, memahami dan menentukan pendapat, maka ia dapat menerima sesuatu dan menolak yang lain, menyukai sesuatu dan membenci yang lain. Kemudian menciptakan sesuatu kaedah dari dirinya sendiri untuk berbagi segi pengalaman kehidupan atau menerima suatu sistem kehidupan yang diciptakan oleh orang lain.

Kebebasan untuk menentukan pilihan inilah yang membagi manusia menjadi dua macam, yakni : Manusia yang mengenal khaliknya dan percaya kepadaNya sebagai Tuhan, dan secara sukarela mengikuti syari'atNya, menerima segala sesuatunya sebagai taqdir atau sebaliknya ia bebas memilih, jalannya yang dipandu oleh akal pikirannya untuk mempertanyakan semuanya yang tadinya ditaati dan dipatuhi itu, guna membangun pemahaman yang baru yang dia bisa terima serta membahagiakannya.

Teks bombas menjelang akhir pertunjukan; "Tuhan, maafkan aku atas segala kesalahan ku. Maafkan aku... seperti aku memaafkan Mu yang telah melahirkan ku di dunia." Menegaskan semacam paham eksitensialis. Penonton dibiarkan memberi makna.


Dalam pemberian makna, ekplorasi artistik pertunjukan “Belajar Tertawa” malam itu memaparkan warna-warna dalam pilihan cat, kuning, putih hitam dan merah. Diatas kanvas putih segi empat, diatasnya, aktor membuat mosaik warna secara improvisasi. Dan bercak-bercak peninggalan jejak kaki aktor, bercampur secara acak. Mengajukan makna ekstrinsik apa adanya. Belum sampai terungkapkan, karena belum membicarakan makna intrinsik apa dibalik warna yang nampak itu.

Dalam sudut pandang orang Bugis- Makassar, pilihan konsep “segi empat” ini bisa menjadi sarat makna. Demikian pula dengan pilahan warna, tidak hanya sekedar warna cat, tetapi membuka perspektif pemahaman yang lebih luas. Warna hitam, merah, kuning, putih memberi kekentalan makna.

Segi empat dalam konsep budaya Bugis-Makassar, adalah simbol makrokosmos alam semesta dan mikrokosmos manusia. Manusia Bugis-Makassar memandang alam semesta terdiri atas empat unsur: butta (tanah), pepeq (api), jeqnek (air), serta anging (angin). Manusia, sebagai aktor utama di alam semesta, dilukiskan sewujud segi empat pula, dengan kepala, ujung tangan kanan, ujung tangan kiri, dan ujung kaki sebagai sudut-sudutnya.

Tentang kualitas manusia dalam tradisi Makassar dikenal: ”Niqanaya sulapaq appaqna taua, iyami antu niaqa siriqna, niaqa pacceqna, niaq pangngaliqna, nia todong pangngadaqkanna” ( yang dikatakan manusia berhati ‘sulapaq appaq yaitu yang memiliki harga diri, memiliki rasa empati-kesetiakawanan, menghargai orang lain serta memiliki sifat sopan santun). Sementara dalam tradisi Bugis, manusia yang memiliki sifat sulapaq eppaq berarti memiliki sifat warani (berani), lempu (jujur), sugi (kaya) dan acca (pintar). Hal tersebut terangkai dalam kalimat;“macca na malempu, warani na magetteng” ( pandai dan jujur, berani dan teguh pendirian). Manusia yang memiliki dan mengamalkan keempat sifat ini disebutTu Panrita - manusia insan kamil.


Tentang tertawa.
Dalam risalah lama, pernah diceriterakan kisah Nabi Ibrahim dan Sitti Sarah istrinya. Sitti Sarah, tertawa ketika mendengar penyampaian malaikat bahwa mereka akan dikaruniai seorang putra. Sitti Sarah ditegur karena tawanya itu, meski ia mencoba menyangkal bahwa ia telah tertawa karena mendengar kabar itu. Sedangkan Ibrahim yang juga tertawa, tidak ditegur, karena diketahui bahwa ia tertawa gembira mengingat ia berkesempatan mempunyai anak melalui Sitti Sarah pada usia tuanya. Sitti Sarah tertawa karena menganggap hal luar biasa itu sebagai sesuatu yang lucu, baginya tidak masuk akal apabila wanita mandul seumurnya, kemudian akan mempunyai anak. Namun, dalam kedua kasus tersebut, mereka tertawa bukan untuk mencemooh atau sengaja mengejek, tetapi keduanya mempertunjukkan rekasi atas janji Allah. Ketika putra mereka itu lahir, tidak diragukan orang tuanya merasa senang, karena sudah mendambakan hal tersebut selama bertahun-tahun. Ibraham menamai putra mereka Ishaq. Sitti Sarahberkata:”Allah telah mempersiapkan gelak tawa bagiku: setiap orang yang mendengar hal ini akan tertawa karena aku.”

Sitti Sarah pernah mendapatkan hadiah seorang perempuan hamba sahaya bernama Sitti Hajar dari Raja Mesir-Firaun, karena jasanya menyembuhkan kembali tangan Raja Mesir yang semula terkatub keduanya dan tidak dapat membuka. Kemudian Sitti Hajar dihadiahkan kepada Nabi Ibrahim untuk dijadikan istri. Tidak lama kemudian, Sitti Hajar pun melahirkan anak yang diberi nama Ismail. Mereka tertawa gembira dalam kesukaan itu. Demikian pula adanya, saat Ismail yang mesti disembelih atas perintah Tuhannya, tertawa karena telah dibebaskan dari dukalara itu.

Pernyataan salah satu artikel populer pernah mengungkapkan bahwa; “Gaya tertawa bisa berbeda-beda pada setiap orang dan ternyata punya makna tersendiri di baliknya. Perusahaan pembuat wine Lambrini telah melakukan studi ilmiah yang mengklaim bahwa pikiran seseorang bisa dibaca hanya dengan menganalisa caranya tertawa.”

Pertunjukan teater “Belajar Tertawa” tentu dapat saja menyajikan makna berdasarkan risalah agama dan kearifan budaya. Meski belum demikian, dari diskusi pertunjukan setidaknya telah memberi pelajaran penting bagi kita tentang sikap terbuka dan cara kerja kreatif-inovatif dalam menyambut sesuatu wacana agar berfaedah. Kemudian membumikannya dalam tindakan pada konteks hidup sehari-hari sehingga pemahaman kita benar-benar berguna secara nyata. Pemahaman seperti ini akan menggerus sikap yang fenomenal terjadi di masa kini, cenderung menelan mentah-mentah perintah akal yang tak jelas landasan agama dan budayanya. Sesungguhnya teater mampu memodifikasi risalah agama dan kearifan budaya khas bangsa Indonesia yang maha kaya.

Dapat dipercaya bahwa dengan memaknai pertunjukan dengan risalah agama, dan filosofi budaya daerah yang telah didatangi oleh Roy dan memet, maka mereka akan dapat membantu pencapaian tujuan perjalanannya; mengutuhkan bangunan pemahaman atas Indonesia yang beragam, baik agama, juga budaya, akan berguna untuk memahami bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

image

Tamamaung, 2018.
Yudhistira Sukatanya.- Sutradara teater, penulis.

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
Join the conversation now
Logo
Center