Jika siang itu setelah sholat Jumat aku nge-share lokasi. Tertulis kalau aku sedang di jalan kakap. Ya, benar. Jalan kakap tepatnya dibelakang RSUZA.
Setelah aku menulis nya kalian pasti bertanya buat apa aku kesana dan apa pentingnya kalian tau aku kesana ngapain. Ku rasa ini memang tidak penting bagi kalian. Tapi karena aku pengen cerita ya kutulis saja.
Jumat (16/3) aku dan seorang teman yang sudah sering kusebut nanya di tulisan-tulisan steemit ku sebelumnya berlibur ke rumah sakit jiwa. Ku katakan berlibur karena memang benar kami terhibur berada disana.
Sebuah batu tak berdosa tak sengaja membuat kuda besi ku tersandung. Kami hampir jatuh. Dua laki-laki memakai seragam biru tua menertawakan kami. Setelah melihat-lihat situasi baru ku tahu dua laki-laki itu pasien sakit jiwa. Ini memang nasib buruk. Kami ditertawakan orang gila.
Ku parkir kan kereta ku didepan mereka. Ini pengalaman pertama aku kerumah sakit jiwa. Saat itu aku tidak ingin menjenguk seseorang. Niat ku memang untuk berlibur.
Rumah bagi jiwa-jiwa yang terganggu itu sangatlah bersih. Bersyukur biarpun mereka tidak peduli kebersihan tapi orang yang jiwa nya sehat selalu merawat rumah mereka.
Waktu kesana aku membawa senjata. Bukan beude dan aneuk beude. Tapi hanya kamera dan lensa. Bak seorang snipper. Rasanya rugi jika aku hanya menenteng senjata tanpa membidik.
Terdapat kode etik yang harus ku jaga dalam membidik. Guruku bilang jika mau membidik pertama baca doa dulu, terus minta ijin. Jika sudah diberi ijin dengan bebas subjek bisa ku bombardir.
Untuk meminta ijin aku diarahkan ke bagian ADM RSJ. Kami dipertemukan dengan pak haji. Aku menyampaikan maksud dan pak haji mengerti. Tapi aku tidak diberi ijin. Kata pak haji yang gila itu masih punya yang waras dirumahnya, jika kita bidik dia tidak menutup kemungkinan yang waras akan menuntut kita. "Kalau kalian mau lihat-lihat saja dan ngobrol dengan mereka boleh-boleh saja," kata pak haji menyampaikan etika perang di kawasan nya. Kami mulai mengerti. Kami minta ijin permisi untuk kembali.
Saat hendak kembali menuju ketempat kuda besi terparkir. Diperjalanan, dibalik selasar gedung lantai dua. Terdengar keras suara pria bernyanyi. Kami terkejut dan mencari sumber suara. lagi-lagi pria berseragam biru tua dengan plok aqua ditangan berteriak menyanyikan sebuah tembang kenangan. Lengkap dengan goyangan nya. Kami memperhatikannya. Galak tawa kubeberkan didepan Jumala. Dia pun mengajak ku kembali berjalan. Dua menit berjalan kami sampai ditempat semula. Dua pria tadi masih duduk didepan kereta kami. Yang satu mengaku sudah sembuh dan mengajak kami ngobrol. Dan yang satunya lagi meminta uang untuk membeli rokok.
Tanpa rasa takut, akhirnya kami ngobrol. Salah satu pria mengaku penyebab jiwa nya terganggu karena narkoba. Ia dirawat sejak tahun 2007 dan sempat dipulangkan pada tahun 2017. Namun kembali di bekuk polisi dan di serahkan ke rumah sakit jiwa karena masih menjadi pecandu narkoba. Menurut pencarian ku di google. Angka gangguan jiwa di Aceh tergolong tinggi. Menempati posisi atas dengan angka 2,7 per 10 persen, setara dengan Jogyakarta. Disusul daerah Sulsel 2,6 sementara Jawa Tengah dan Bali dengan angka 2,3 persen. Dilansir beberapa media juga, penyebab utama tingginya angka gangguan jiwa di aceh karena narkoba. Kalau kata abuwa roma irama ini sungguh terlalu. Teganya narkoba merebut jiwa-jiwa masa depan bangsa yang merdeka.
Tapi aku tak akan banyak membahas hal itu. Perlu penguatan narasumber untuk ku ulas. Tidak cukup waktu untuk aku wawancara mereka hingga tulisan ini tayang. Sebelum aku gas untuk pulang, seorang pria dibalik tingkap menyapa ku dan berkata "Dek sherly gak mau lagi sama abang," teriak pria paruhbaya yang bertelanjang dada itu. Aku pun menyeru "Gak mau bang, abang gak pakek baju," teriak ku kembali dan langsung tancap gas pulang.
foto-foto: ist