Atas nama Panyot Abdya: gerakan meningkatkan minat baca Aceh, penulis mengambil kesempatan menjadi host di acara "cang panah" yang bertema literasi cinta dengan menghadirkan Diyus Hanafi.
Narasumber yang dikenal dengan panggilan Sang Diyus di platform Steemit, telah menjadi sosok penulis yang selalu dinanti celoteh dan catatannya.
Kelebihannya dalam memilih diksi yang tepat, analisa yang tajam yang membuka ruang tinjau baru dari hal hal sederhana dari kehidupan sehari hari, mampu mengajak pembaca untuk membuka kran daya pikir yang terkadang macet.
Dalam Acara live instagram di panyot Abdya, ada beberapa point penting, yang coba kita rangkum dibawah ini.
Pertama, literasi dalam maknanya yang sederhana merupakan kemampuan bernalar tentang dan menggunakan bahasa.
Dalam makna yang luas, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menggiatkan Gerakan Literasi Nasional sejak 2016, dengan enam (6) dasar yang harus dipelajari dan ditingkatkan sebagai kemampuan dasar sumber daya manusia.
(Gambar : sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id)
Kedua, menjawab permasalahan literasi baca tulis, Diyus mengutarakan minat bacanya tumbuh dari rasa kegelisahan atas kehidupan, dimana kesadaran bahwasanya setiap orang dan tempat punya cerita tersendiri telah menggerakkan dia untuk melihat dunia lewat jendelanya.
Ketiga, dalam tahap implementasi, sebagai pribadi yang bebas, dia sudah ditahap tidak percaya lagi pada institusi pemerintah dalam hal ini pendidikan, sekolah dan para pendidik hanya instrumen negara untuk sebuah tujuan yang mencetak sumber daya manusia yang tersistem dan terdokrin, dan ini absurd.
Kurikulum dan pola pendididikan hanya menitik beratkan pada nilai dan angka tanpa melibatkan anak dalam mengekspresikan kemauan dan keinginannya, dunia bermain anak dirampas oleh waktu dan ruang bernama sekolah.
Dan kita harus sadar diri, generasi muda sekarang adalah produk gagal dari namanya pendidikan dengan metode kolonial, pembandingnya adalah masa tumbuh kembangnya filsafat dimasa yunani kuno, ketika anak anak di titipkan pada orang orang yang diakui bijak untuk bermain dan belajar banyak hal dari alam.
Keempat, ketika bicara cinta, Diyus melihatnya sebagai onomatope : proses lahirnya kata dari bunyi.
Cinta itu otonom, dia terlahir sebagai kata kerja dan menolaknya sebagai kata benda, karena bila cinta sebagai kata benda maka dia bisa dibagi, diperjual belikan dan tidak akan mampu menghargai proses.
Dalam upaya meliterasikan cinta inilah sangat dibutuhkan keseimbangan dalam memahami teks dan konteks, jika kemudian banyak dari kita menjadi pribadi yang teksbook, maka bukankah lebih baik membaca buku dari pada mendengarkan orang tersebut bicara ?
Kelima, dalam status diri sebagai pembual (semata mata karena alasan belum ada karya cetak), Diyus menyarankan kepada penulis muda untuk mengupayakan menulis jabaran kalimat yang berbeda dalam 500 kata untuk merujuk pada satu kata, sehingga mampu memperkaya kosa kata dan mempertanggung jawabkan setiap kata yang dituliskan.
Dalam durasi live sampai 1,5 jam ini, pembicaraan penuh percikan energi telah menyerempet perihal kritikan terhadap orang orang yang kontra dengan data tentang indeks literasi dan kemiskinan Aceh, sedikit soal seks, musik dan politik.
Sebagai penutup cang panah, dia menyampaikan bahwasanya kita yang terlahir merdeka jangan sampai dibodohi dengan tuntutan yang membelenggu kebebasan dalam minat dan karya selama itu tidak menyangkut ketauhidan.
Bicara hubungan Literasi dan Cinta, maka selama ada kisah baru, konstelasi hubungan baru maka cinta akan hadir, karena mata air cinta tidak pernah kering dan sebaliknya, literasi dibutuhkan supaya kita membaca dan mengetahui pengalaman pengalaman orang lain.
Secara hubungan, literasi dan cinta sejauh ini baik baik saja, literasi cinta dan atau cinta literasi keduanya saling butuh dan saling isi.
Note :
Tulisan dipublish atas izin Narasumber (Diyus Hanafi)